Taqlid dan Ijtihad

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menjalankan syari’at Islam dengan bermadzhabkan as-Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali dan lain-lain bukanlah orang yang fanatik madzhab, karena orang yang bermadzhab Syafi’i juga menaruh hormat terhadap orang yang mengikuti madzhab lain seperti yang banyak ditulis dalam kitab-kitab ulama mereka. Mereka juga tahu bahwa para imam-imam mujtahid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah.[1] Andai pernah terjadi perseteruan yang menjurus pertengkaran, maka hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa madzhabnya yang bathil. Seperti apabila ada orang Islam mencuri, apakah lalu kita mengatakan bahwa ternyata Islam mengajarkan mencuri. Tidak bukan?! Sayyidina Ali mengatakan, “Ketahuilah kebenaran, maka kamu akan tahu siapa orang yang benar”. Keterangan perlu disampaikan, karena hanya menceritakan bahwa ada kota yang hancur gara-gara terjadi perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah yang katanya diceritakan Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan. Lebih arif apabila disampaikan pula juz dan halaman kitab tersebut?!

Dikatakan bahwa taqlid kepada ulama adalah terlarang dengan berpijak pada larangan yang disampaikan oleh Imam-imam madzhab empat yaitu Abu Hanifah, as-Syafi’i, Malik dan Ahmad. Keempat Imam madzhab tersebut memang pernah melarang bertaqlid kepada mereka. Menurut saya Ustadz Yusuf tidak banyak membaca sejarah dan sudah terlalu fanatik dengan kebenaran pendapatnya sendiri sehingga menutup telinga terhadap komentar ulama-ulama madzhab yang menanggapi pelarangan tersebut.

Orang yang anti madzhab banyak mengkritik orang-orang yang bertaqlid dan menuduh madzhab Abu Hanifah, madzhab Syafi’i dan lain-lain adalah sama dengan ta’addud as-syari’ah (penggandaan syari’at).[2] Namun yang lucu dan aneh, justru mereka sering menuqil pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izziddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Qadli Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, ad-Dzahabi, an-Nasa’i, as-Suyuthi, al-Khatib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, al-Bukhari dan lain-lain. Sementara mereka berkeyakinan bahwa mereka adalah orang yang salah karena bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu lebih alim mana antara mereka yang anti madzhab dibandingkan dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya???. Pertanyaan ini tidak butuh dijawab tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik.

Kewajiban taqlid bukan berdasar maqalah, akan tetapi kewajiban bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasarkan pada:

1. Dalil Naqli Al Qur’an QS: An-Nahl:43

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Dan sudah menjadi ijma’ (konsensus) ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbat) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2. Ijma’

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasullalah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tetapi mereka ada yang punya kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua sahabat, serta diantaranya juga ada mustafti ataumuqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.

Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

3. Dalil Aqli

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkelai. Klimaksnya dunia ini akan rusak. Maka tidak salah kalau al-Buthi memberi judul terhadap salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling bahaya yang dapat menghancurkan agama“. Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.[3]

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:
Wajib bagi orang yang tidak mampu istinbath dari Al Qur’an dan hadits.
Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriyyah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, As-Suyuti, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Dawud ad-Dhahiri dan lain-lain.

Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al Quran dan al-Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.[4]

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksud adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan oleh al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Bâlighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang mengutip pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid.[5]

Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti madzhab dengan argumen-argumen yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Said Ramadlan al-Buthi.

Jika ada orang saat ini yang mengaku mampu berijtihad sendiri, maka katakanlah, “Ijtihad kalian tidak lebih benar dari ijtihad para imam-imam mujtahid”. Jika mereka mengaku bertaqlid, maka katakan kepada mereka, “Taqlidmu sia-sia dan gugur tak berarti, karena Ibnu Taymiyyah mengakui taqlid”. Karena kebanyakan mereka mengikuti Ibnu Taymiyyah.

[1] Lihat pembelaan terhadap Imam-Imam Madzhab oleh as-Sya’rani dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir

[2] Lihat Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah.

[3] Lihat Allamadhabiyah H.70-73, Takhrîj Ahâdits al-Luma’ H.348

[4] Al-Mizan al-Kubra 1/62

[5] Allamadzhabiyyah hal 133 dan Iqdul Jiid fi ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hal 22.



1 komentar:

Satria Baja ID mengatakan...

Alhamdulillah InsyaAllah blog ini sangat bermanfaat,..

Posting Komentar

Mohon jangan berkomentar memakai kata SARA,Kotor ataupun SPAM.

Mohon Jangan Menggunakan ANONYM,apabila anda tidak mengikuti peraturan ini saya akan menghapus komentar anda tanpa membacanya terlebih dahulu.
Pilihlah Name/URL lalu isi dengan nama anda (URL bisa anda kosongkan atau isi dengan URL http://wahabivssunni.blogspot.com/ saja apabila anda tidak memiliki blog atau website.
Terima kasih sudah berkunjung dan menyempatkan berkomentar,wassalamualaikum warohmatullahi wabarokatuh.

Design by Faham Wahabi Visit Original Post Ahlus Sunnah Wal Jama'ah