Tampilkan postingan dengan label hukum hukum. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label hukum hukum. Tampilkan semua postingan

Hukum Mengamalkan Hadits Dho'if




Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah Ta’aala yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.

Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?

Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.

Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah Ta’aala) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:



Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.

Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:

“Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)

Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.

Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.

(Tulisan diatas saya ambil dari catatan guru saya KH. Thobary Syadzily – Ponpes Al-Husna Tangerang – Jawa Barat)

Sedikit tambahan dari penulis,

Pernyataan al-Imam an-Nawawi rahimahullaah di atas juga diperjelas lagi oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah di dalam kitab at-tadrib ar-Rawi jilid 1 halaman 162 disebutkan sebagai berikut:

Kitab Tadrib ar-Rawi juz 1 halaman 162



“Dan apabila engkau hendak menyampaikan suatu riwayat dhoif tanpa sanad yang kuat, hendaknya janganlah engkau mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam” atau perkataan yang semisalnya sebagai penegasan akan hal itu (kedhoifan sanadnya), akan tetapi katakanlah: “Aku sampaikan riwayat”, atau “Telah sampai kepada kami suatu riwayat”, atau “Telah disebutkan dalam sebuah riwayat”, atau “Telah datang suatu riwayat”, atau “Kami telah menukil sebuah riwayat” atau yang serupa daripada ucapan tersebut, dan diperbolehkan oleh sebagian kalangan ahli hadits untuk tasahul (memperlonggar) di dalam hal sanad-sanad yang lemah dan meriwayatkan hadits dhoif yang bukan maudhu’ (palsu) dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kedhoifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Keterangan al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah diatas, menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Adab di dalam membawakan hadits dho’if, yaitu hendaknya tidak menyebutkan “قال رسول الله صلى الله عليه وسلم” (artinya: Telah bersabda Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam), namun hendaknya mengucapkan kalimat “Aku sampaikan riwayat” dan kalimat yang semisalnya.

2. Diperbolehkannya mengamalkan hadits dho’if untuk fadha’il a’mal. Dan tidak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sifat-sifat Allah Ta’aala, hukum-hukum halal dan haram, dan tidak berkaitan dengan aqidah.

3. Tidak diperbolehkannya mengamalkan hadits maudhu’ (palsu).




read more

Hadits Shahih Yang Di-Dhoifkan Kaum Wahhabi

Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebut secara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).
Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).
Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).
Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).
Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.
Bersama Kaum Wahabi
Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:
ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ

Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath­-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalihikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:
عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ

Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).

Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.

Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ

Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.
Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukantadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atautadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitutadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ
(الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠)

Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).

Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:
مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ

Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:
١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.

1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).

Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Haditsmelalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelahikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.



read more

Apakah Allah berada di Langit?

Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”

Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
الصافات : ٩٩

“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).

Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.

Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
رواه البخاري

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Dikutip dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.


read more

Taqlid dan Ijtihad

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menjalankan syari’at Islam dengan bermadzhabkan as-Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali dan lain-lain bukanlah orang yang fanatik madzhab, karena orang yang bermadzhab Syafi’i juga menaruh hormat terhadap orang yang mengikuti madzhab lain seperti yang banyak ditulis dalam kitab-kitab ulama mereka. Mereka juga tahu bahwa para imam-imam mujtahid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah.[1] Andai pernah terjadi perseteruan yang menjurus pertengkaran, maka hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa madzhabnya yang bathil. Seperti apabila ada orang Islam mencuri, apakah lalu kita mengatakan bahwa ternyata Islam mengajarkan mencuri. Tidak bukan?! Sayyidina Ali mengatakan, “Ketahuilah kebenaran, maka kamu akan tahu siapa orang yang benar”. Keterangan perlu disampaikan, karena hanya menceritakan bahwa ada kota yang hancur gara-gara terjadi perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah yang katanya diceritakan Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan. Lebih arif apabila disampaikan pula juz dan halaman kitab tersebut?!

Dikatakan bahwa taqlid kepada ulama adalah terlarang dengan berpijak pada larangan yang disampaikan oleh Imam-imam madzhab empat yaitu Abu Hanifah, as-Syafi’i, Malik dan Ahmad. Keempat Imam madzhab tersebut memang pernah melarang bertaqlid kepada mereka. Menurut saya Ustadz Yusuf tidak banyak membaca sejarah dan sudah terlalu fanatik dengan kebenaran pendapatnya sendiri sehingga menutup telinga terhadap komentar ulama-ulama madzhab yang menanggapi pelarangan tersebut.

Orang yang anti madzhab banyak mengkritik orang-orang yang bertaqlid dan menuduh madzhab Abu Hanifah, madzhab Syafi’i dan lain-lain adalah sama dengan ta’addud as-syari’ah (penggandaan syari’at).[2] Namun yang lucu dan aneh, justru mereka sering menuqil pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izziddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Qadli Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, ad-Dzahabi, an-Nasa’i, as-Suyuthi, al-Khatib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, al-Bukhari dan lain-lain. Sementara mereka berkeyakinan bahwa mereka adalah orang yang salah karena bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu lebih alim mana antara mereka yang anti madzhab dibandingkan dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya???. Pertanyaan ini tidak butuh dijawab tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik.

Kewajiban taqlid bukan berdasar maqalah, akan tetapi kewajiban bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasarkan pada:

1. Dalil Naqli Al Qur’an QS: An-Nahl:43

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Dan sudah menjadi ijma’ (konsensus) ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbat) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2. Ijma’

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasullalah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tetapi mereka ada yang punya kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua sahabat, serta diantaranya juga ada mustafti ataumuqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.

Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

3. Dalil Aqli

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkelai. Klimaksnya dunia ini akan rusak. Maka tidak salah kalau al-Buthi memberi judul terhadap salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling bahaya yang dapat menghancurkan agama“. Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.[3]

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:
Wajib bagi orang yang tidak mampu istinbath dari Al Qur’an dan hadits.
Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriyyah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, As-Suyuti, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Dawud ad-Dhahiri dan lain-lain.

Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al Quran dan al-Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.[4]

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksud adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan oleh al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Bâlighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang mengutip pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid.[5]

Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti madzhab dengan argumen-argumen yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Said Ramadlan al-Buthi.

Jika ada orang saat ini yang mengaku mampu berijtihad sendiri, maka katakanlah, “Ijtihad kalian tidak lebih benar dari ijtihad para imam-imam mujtahid”. Jika mereka mengaku bertaqlid, maka katakan kepada mereka, “Taqlidmu sia-sia dan gugur tak berarti, karena Ibnu Taymiyyah mengakui taqlid”. Karena kebanyakan mereka mengikuti Ibnu Taymiyyah.

[1] Lihat pembelaan terhadap Imam-Imam Madzhab oleh as-Sya’rani dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir

[2] Lihat Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah.

[3] Lihat Allamadhabiyah H.70-73, Takhrîj Ahâdits al-Luma’ H.348

[4] Al-Mizan al-Kubra 1/62

[5] Allamadzhabiyyah hal 133 dan Iqdul Jiid fi ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hal 22.



read more

hukum shalat rebo wekasan

Bagaimana hukumnya menunaikan shalat pada hari Rabu terakhir di bulan Shafar?

hukumnya boleh,dalilnya adalah sebagai berikut:

A.sebagaimana yang tertulis dalam kitab Mujarabat dan tersebut di akhir bab 18 sebagai berikut ?.

فائدة أخرى: ذكر بعض العارفين – من أهل الكشف والتمكين – أنه ينزل في كل سنة ثلاثمائة وعشرون ألفا من البليات، وكل ذلك في يوم الأربعاء الأخير من شهر صفر، فيكون ذلك اليوم أصعب أيام السنة كلها، فمن صلّى في ذلك اليوم أربع ركعات إلخ
Artinya: Sebagian orang yang ma’rifat dari ahli kasyaf dan tamkin menyebutkan: setiap tahun, turun 320.000 cobaan. Semuanya itu pada hari Rabu akhir bulan Shafar, maka pada hari itu menjadi sulit-sulitnya hari di tahun tersebut. Barang siapa shalat di hari itu 4 rakaat dst.”.
B. dalil yang menenjukkan haram melakukan shalat lidaf'il bala'i di malam rebo wekasan tersebut tidak ada,baik yang langsung dari al qur'an maupun al hadits begitu juga menurut ulama' ulama' salaf.
C. shalat lidaf'il bala'i ini sudah istiqamah dilakukan oleh banyak para waliyullah dan para ulama' salaf.
pondok pesantren yang istiqamah melakukan ini yang berada di probolinggo adalah nurul jadid,zainul hasan,nurul karim dan lain lain.
pekerjaan ini sudah jelas dilakukan oleh para waliyullah.
barang siapa yang mengingkari mukasyahnya para walitullah atau pada karomahnya ataupun pada keberadaannya,maka orang tersebut berarti ingkar kepada keluasan karomah allah yang diberikan kepada sebagian makhlukNYA.
D. kita juga bisa mengambil dalil qawaidul fiqh العدادة محكمة
pekerjaan shalat rebo wekasan tersebut sudah menjadi kebiasaan,jadi hukumnya mengikuti kebiasaan tersebut berarti sudah harus diikuti,karna hal tersebut tidak bertentangan dengan syari'ah yang sudah muthlaq atau tawqifiy.
E. kita juga bisa meninjau hal tersebut dengan firman allah swt واستعينوا بالصبر والصلاة
kita bisa mengkajinya dengan memasukkan ba'nya bish shabri pada ba' lit ta'diyah apa pada ba' sababiyah atau pada yang lainnya.
kita juga jangan lupa melihat pada lafadh shalah yang menunjukkan 'amm.
lalu sebagian orang orang yang terjangkit virus faham wahabi sesat juga ikut ikutan membid'ahkannya,entah mereka sadar atau tidak saya sendiri tidak tahu,tapi semoga saja allah memberikan hidayahnya amin.
sebagai tambahan:

dalam al-‘Aqidah al-Wasithiyyah:
ومن أصول أهل السنة : التصديق بكرامات الأولياء وما يجري الله على أيديهم من خوارق العادات في أنواع العلوم والمكاشفات
“Di antara prinsip Ahlussunnah adalah mempercayai karamah para wali dan apa yang dijalankan oleh Allah melalui tangan-tangan mereka berupa perkara yang menyalahi adat dalam berbagai macam ilmu pengetahuan dan mukasyafah.”

Rasulullah saw bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي. (الإمام الحافظ جلال الدين السيوطي، الجامع الصغير في أحاديث البشير النذير، ١/٤، والحافظ أحمد بن الصديق الغماري، المداوي لعلل الجامع الصغير وشرحي المناوي، ١/۲٣).
“Dari Ibn Abbas RA, Nabi SAW bersabda: “Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya sial terus.” HR. Waki’ dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam al-Tafsir dan al-Khathib al-Baghdadi. (Al-Hafizh Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami’ al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-‘Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).
Hadits di atas kedudukannya dha’if (lemah). Tetapi meskipun hadits tersebut lemah, posisinya tidak dalam menjelaskan suatu hukum, tetapi berkaitan dengan bab targhib dan tarhib (anjuran dan peringatan), yang disepakati otoritasnya di kalangan ahli hadits sejak generasi salaf. Ingat, bahwa yang menolak otoritas hadits dha’if secara mutlak, bukan ulama ahli hadits, akan tetapi kaum Wahabi abad modern yang dipelopori oleh Syaikh al-Albani.
Dalam hadits tersebut dinyatakan bahwa hari Rabu terakhir dalam setiap bulan adalah hari datangnya sial terus.
http://mahrusaligpl.blogspot.com/2012/05/hukum-shalat-rebo-wekasan.html
read more

Hukum Berdo’a dengan Tawassul

Hukum Berdo’a dengan Tawassul
Di antara yang sering dtuduhkan kepada umat adalah syirik bertawasul, ini yang sering di lontarkan wahabi/salafi, benarkah tuduhan itu? Untuk menjawabnya, maka kami mengulasnya di bawah ini, sebagai bantahan atas tuduhan tak berdasar dari mereka.

Pengertian Tawassul Pemahaman tawassul sebagaimana yang dipahami oleh umat islam selama ini adalah bahwa Tawassul adalah berdoa kepada Allah melalui suatu perantara, baik perantara tersebut berupa amal baik kita ataupun melalui orang sholeh yang kita anggap mempunyai posisi lebih dekat kepada Allah. Jadi tawassul merupakan pintu dan perantara doa untuk menuju Allah SWT.

• Orang yang bertawassul dalam berdoa kepada Allah menjadikan perantaraan berupa sesuatu yang dicintainya dan dengan berkeyakinan bahwa Allah SWT juga mencintai perantaraan tersebut.

• Orang yang bertawassul tidak boleh berkeyakinan bahwa perantaranya kepada Allah bisa memberi manfaat dan madlorot kepadanya dan. Jika ia berkeyakinan bahwa sesuatu yang dijadikan perantaraan menuju Allah SWT itu bisa memberi manfaat dan madlorot, maka dia telah melakukan perbuatan syirik, karena yang bisa memberi manfaat dan madlorot sesungguhnya hanyalah Allah semata.

• Tawassul merupakan salah satu cara dalam berdoa. Banyak sekali cara untuk berdo’a agar dikabulkan Allah, seperti berdoa di sepertiga malam terakhir, berdoa di Maqam Multazam, berdoa dengan mendahuluinya dengan bacaan alhamdulillah dan sholawat dan meminta doa kepada orang sholeh. Demikian juga tawassul adalah salah satu usaha agar do’a yang kita panjatkan diterima dan dikabulkan Allah s.w.t. Dengan demikian, tawasul adalah alternatif dalam berdoa dan bukan merupakan keharusan.

Tawassul dengan amal sholeh kita

Para ulama sepakat memperbolehkan tawassul terhadap Allah SWT dengan perantaraan perbuatan amal sholeh, sebagaimana orang yang sholat, puasa, membaca al-Qur’an, kemudian mereka bertawassul terhadap amalannya tadi. Seperti hadis yang sangat populer diriwayatkan dalam kitab-kitab sahih yang menceritakan tentang tiga orang yang terperangkap di dalam goa, yang pertama bertawassul kepada Allah SWT atas amal baiknya terhadap kedua orang tuanya, yang kedua bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang selalu menjahui perbuatan tercela walaupun ada kesempatan untuk melakukannya dan yang ketiga bertawassul kepada Allah SWT atas perbuatannya yang mampu menjaga amanat terhadap harta orang lain dan mengembalikannya dengan utuh, maka Allah SWT memberikan jalan keluar bagi mereka bertiga.. (Ibnu Taimiyah mengupas masalah ini secara mendetail dalam kitabnya Qoidah Jalilah Fii Attawasul Wal wasilah hal: 160)
Tawassul dengan orang sholeh

Adapun yang menjadi perbedaan dikalangan ulama’ adalah bagaimana hukumnya tawassul tidak dengan amalnya sendiri melainkan dengan seseorang yang dianggap sholeh dan mempunyai martabat dan derajat tinggi di depan Allah SWT. sebagaimana ketika seseorang mengatakan : “Ya Allah aku bertawassul kepada-Mu melalui Nabi-Mu Muhammmad atau Abu bakar atau Umar dll”.

Para ulama berbeda pendapat mengenai masalah ini. Pendapat mayoritas ulama mengatakan boleh, namun beberapa ulama mengatakan tidak boleh. Akan tetapi kalau dikaji secara lebih detail dan mendalam, perbedaan tersebut hanyalah sebatas perbedaan lahiriyah bukan perbedaan yang mendasar karena pada dasarnya tawassul kepada dzat (entitas seseorang), pada intinya adalah tawassul pada amal perbuatannnya, sehingga masuk dalam kategori tawassul yang diperbolehkan oleh ulama’.

Dalil-Dalil Tentang Tawassul

Dalam setiap permasalahan apapun suatu pendapat tanpa didukung dengan adanya dalil yang dapat memperkuat pendapatnya, maka pendapat tersebut tidak dapat dijadikan sebagai pegangan. Dan secara otomatis pendapat tersebut tidak mempunyai nilai yang berarti, demikian juga dengan permasalahan ini, maka para ulama yang mengatakan bahwa tawassul diperbolehkan menjelaskan dalil-dalil tentang diperbolehkannya tawassul baik dari nash al-Qur’an maupun hadis, sebagai berikut:

A. Dalil dari al-Qur’an.

1. Allah SWT berfirman dalam surat Almaidah : 35

ياأيها الذين آمنوااتقواالله وابتغوا إليه الوسيلة

“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.”

2. Suat Al-Isra [17] : 57

أُولَـئِكَ الَّذِينَ يَدْعُونَ يَبْتَغُونَ إِلَى رَبِّهِمُ الْوَسِيلَةَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُوراً

“Orang-orang yang mereka seru itu, mereka sendiri mencari jalan kepada Tuhan mereka, siapa di antara mereka yang lebih dekat (kepada Allah) dan mengharapkan rahmat-Nya dan takut akan azab-Nya, sesungguhnya azab Tuhanmu adalah suatu yang (harus) ditakuti”

Maksudnya: Nabi Isa a.s., para malaikat dan ‘Uzair yang mereka sembah itu menyeru dan mencari jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Lafadl Alwasilah dalam ayat ini adalah umum, yang berarti mencakup tawassul terhadap dzat para nabi dan orang-orang sholeh baik yang masih hidup maupun yang sudah mati, ataupun tawassul terhadap amal perbuatan yang baik-baik.

Wasilah dalam berdoa sebetulnya sudah diperintahkan sejak jaman sebelum Nabi Muhammad SAW. QS 12 : 97-98 mengkisahkan saudara-saudara Nabi Yusuf AS yang memohon ampunan kepada Allah SWT melalui perantara ayahandanya yang juga Nabi dan Rasul, yakni Nabi Ya’qub AS. Dan beliau sebagai Nabi sekaligus ayah ternyata tidak menolak permintaan ini, bahkan menyanggupi untuk memintakan ampunan untuk putera-puteranya QS Yusuf [12] : 97-98

قَالُواْ .يَا أَبَانَا اسْتَغْفِرْ لَنَا ذُنُوبَنَا إِنَّا كُنَّا خَاطِئِينَ. قَالَ سَوْفَ أَسْتَغْفِرُ لَكُمْ رَبِّيَ إِنَّهُ هُوَ الْغَفُورُ الرَّحِيمُ

“Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)”. Nabi Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Di sini nampak jelas bahwa sudah sangat lumrah memohon sesuatu kepada Allah SWT dengan menggunakan perantara orang yang mulia kedudukannya di sisi Allah SWT. Bahkan QS 17:57 dengan jelas mengistilahkan “ayyuhum aqrabu”, yakni memilih orang yang lebih dekat (kepada Allah SWT) ketika berwasilah.

3. Ummat Nabi Musa AS berdoa menginginkan selamat dari adzab Allah SWT dengan meminta bantuan Nabi Musa AS agar berdoa kepada Allah SWT untuk mereka. Bahkan secara eksplisit menyebutkan kedudukan Nabi Musa AS (sebagai Nabi dan Utusan Allah SWT) sebagai wasilah terkabulnya doa mereka. Hal ini ditegaskan QS 7:134 dengan istilah بِمَا عَهِدَ عِندَكَ Dengan (perantaraan) sesuatu yang diketahui Allah SWT. ada pada sisimu (kenabian)

Demikian pula hal yang dialami oleh Nabi Adam AS, sebagaimana QS 2:37

فَتَلَقَّى آدَمُ مِن رَّبِّهِ كَلِمَاتٍ فَتَابَ عَلَيْهِ إِنَّهُ هُوَ التَّوَّابُ الرَّحِيمُ

“Kemudian Nabi Adam menerima beberapa kalimat dari Tuhannya, maka Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang”.

“Kalimat yang dimaksud di atas, sebagaimana diterangkan oleh ahli tafsir berdasarkan sejumlah hadits adalah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW, yang sekalipun belum lahir namun sudah dikenalkan namanya oleh Allah SWT, sebagai nabi akhir zaman.

4. Bertawassul ini juga diajarkan oleh Allah SWT di QS 4:64 bahkan dengan janji taubat mereka pasti akan diterima. Syaratnya, yakni mereka harus datang ke hadapan Rasulullah dan memohon ampun kepada Allah SWT di hadapan Rasulullah SAW yang juga mendoakannya.

وَمَا أَرْسَلْنَا مِن رَّسُولٍ إِلاَّ لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللّهِ وَلَوْ أَنَّهُمْ إِذ ظَّلَمُواْ أَنفُسَهُمْ جَآؤُوكَ فَاسْتَغْفَرُواْ اللّهَ وَاسْتَغْفَرَ لَهُمُ الرَّسُولُ لَوَجَدُواْ اللّهَ تَوَّابًا رَّحِيمًا

“Dan Kami tidak mengutus seseorang rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan Rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang.”

B. Dalil dari hadist.

1. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW sebelum lahir sebagaimana Nabi Adam AS pernah melakukan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW. Imam Hakim Annisabur meriwayatkan dari Umar berkata, bahwa Nabi bersabda:

قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : لما اقترف آدم الخطيئة قال : يا ربى ! إنى أسألك بحق محمد لما غفرتنى فقال الله : يا آدم كيف عرفت محمدا ولم أخلقه قال : يا ربى لأنك لما خلقتنى بيدك ونفخت فيّ من روحك رفعت رأسى فرأيت على قوائم العرش مكتوبا لاإله إلا الله محمد رسول الله فعلمت أنك لم تضف إلى إسمك إلا أحب الخلق إليك فقال الله : صدقت يا آدم إنه لأحب الخلق إلي، ادعنى بحقه فقد غفرت لك، ولولا محمد ما خلقتك (أخرجه الحاكم فى المستدرك وصححه ج : 2 ص: 615)

“Rasulullah s.a.w. bersabda: “Ketika Adam melakukan kesalahan, lalu ia berkata Ya Tuhanku, sesungguhnya aku memintaMu melalui Muhammad agar Kau ampuni diriku”. Lalu Allah berfirman: “Wahai Adam, darimana engkau tahu Muhammad padahal belum aku jadikan?” Adam menjawab:”Ya Tuhanku ketika Engkau ciptakan diriku dengan tanganMu dan Engkau hembuskan ke dalamku sebagian dari ruh-Mu, maka aku angkat kepalaku dan aku melihat di atas tiang-tiang Arash tertulis “Laailaaha illallaah muhamadun rasulullah” maka aku mengerti bahwa Engkau tidak akan mencantumkan sesuatu kepada nama-Mu kecuali nama mahluk yang paling Engkau cintai”. Allah menjawab: “Benar Adam, sesungguhnya ia adalah mahluk yang paling Aku cintai, bredoalah dengan melaluinya maka Aku telah mengampunimu, dan andaikan tidak ada Muhammad maka tidaklah Aku menciptakanmu”
Imam Hakim berkata bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanadnya. Demikian juga Imam Baihaqi dalam kitabnya Dalail An-Nubuwwah, Imam Qostholany dalam kitabnya Al-Mawahib 2/392 , Imam Zarqoni dalam kitabnya Syarkhu Al-Mawahib Laduniyyah 1/62, Imam Subuki dalam kitabnya Shifa’ As-Saqom dan Imam Suyuti dalam kitabnya Khosois An-Nubuwah, mereka semua mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih.

Dan dalam riwayat lain, Imam Hakim meriwayatkan dari Ibnu Abbas dengan redaksi:

فلولا محمد ما خلقت آدم ولا الجنة ولا النار (أخرجه الحاكم فى المستدرك ج: 2 وص:615

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad, demikian juga Syekh Islam Al-bulqini dalam fatawanya mengatakan bahwa ini adalah shohih, dan Syekh Ibnu Jauzi memaparkan dalam permulaan kitabnya Al-wafa’ , dan dinukil oleh Ibnu Kastir dalam kitabnya Bidayah Wannihayah 1/180. Walaupun dalam menghukumi hadis ini tidak ada kesamaan dalam pandangan ulama’, hal ini disebabkan perbedaan mereka dalam jarkh wattta’dil (penilaian kuat dan tidak) terhadap seorang rowi, akan tetapi dapat diambil kesimpulan bahwa tawassul terhadap Nabi Muhammad SAW adalah boleh.

2. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam masa hidupnya. Diriwatyatkan oleh Imam Hakim:

عن عثمان بن حنيف قال سمعت رسول الله صلى الله عليه وسلم وجاءه رجل ضريرفشكا إليه ذهاب بصره، فقال : يا رسول الله ! ليس لى قائد وقد شق علي فقال رسول الله عليه وسلم : :ائت الميضاة فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل : اللهم إنى أسألك وأتوجه إليك لنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى لى عن بصرى، اللهم شفعه فيّ وشفعنى فى نفسى، قال عثمان : فوالله ما تفرقنا ولا طال بنا الحديث حتى دخل الرجل وكأنه لم يكن به ضر. (أخرجه الحاكم فى المستدرك)

Dari Utsman bin Hunaif: “Suatu hari seorang yang lemah dan buta datang kepada Rasulullah s.a.w. berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak mempunyai orang yang menuntunku dan aku merasa berat” Rasulullah berkata “Ambillah air wudlu, lalu beliau berwudlu dan sholat dua rakaat, dan berkata: “bacalah doa (artinya)” Ya Allah sesungguhnya aku meminta-Mu dan menghadap kepada-Mu melalui nabi-Mu yang penuh kasih sayang, wahai Muhammad sesungguhnya aku menghadap kepadamu dan minta Tuhanmu melaluimu agar dibukakan mataku, Ya Allah berilah ia syafa’at untukku dan berilah aku syafaat”. Utsman berkata: “Demi Allah kami belum lagi bubar dan belum juga lama pembicaraan kami, orang itu telah datang kembali dengan segar bugar”. (Hadist riwayat Hakim di Mustadrak)

Beliau mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih dari segi sanad walaupun Imam Bukhori dan Imam Muslim tidak meriwayatkan dalam kitabnya. Imam Dzahabi mengatakatan bahwa hadis ini adalah shohih, demikian juga Imam Turmudzi dalam kitab Sunannya bab Daa’wat mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan shohih ghorib.

Dan Imam Mundziri dalam kitabnya Targhib Wat-Tarhib 1/438, mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Nasai, Ibnu Majah dan Imam Khuzaimah dalam kitab shohihnya.

3. Tawassul kepada Nabi Muhammad SAW setelah meninggal. Diriwayatkan oleh Imam Addarimi:

عن أبى الجوزاء أ وس بن عبد الله قال : قحط أهل المدينة قحطا شديدا فشكوا إلى عائشة فقالت : انظروا قبر النبي فاجعلوا منه كوا إلى السماء حتى لا يكون بينه وبين السماء سقف قال : ففعلوا فمطروا مطرا حتى نبت العشب وسمنت الإبل حتى تفتقط من السحم فسمي عام الفتق ( أخرجه الإمام الدارمى ج : 1 ص : 43)

Dari Aus bin Abdullah: “Sautu hari kota Madina mengalami kemarau panjang, lalu datanglah penduduk Madina ke Aisyah (janda Rasulullah s.a.w.) mengadu tentang kesulitan tersebut, lalu Aisyah berkata: “Lihatlah kubur Nabi Muhammad s.a.w. lalu bukalah sehingga tidak ada lagi atap yang menutupinya dan langit terlihat langsung”, maka merekapun melakukan itu kemudian turunlah hujan lebat sehingga rumput-rumput tumbuh dan onta pun gemuk, maka disebutlah itu tahun gemuk” (Riwayat Imam Darimi)

Diriwayatkan oleh Imam Bukhori:

عن أنس بن مالك إن عمر بن خطاب كان إذا قطحوا استسقى بالعباس بن عبد المطلب فقال : اللهم إنا كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا وإنا ننتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا قال : فيسقون (أخرجه الإمام البخارى فى صحيحه ج: 1 ص:137 )

Riwayat Bukhari: dari Anas bin Malik bahwa Umar bin Khattab ketika menghadapi kemarau panjang, mereka meminta hujan melalui Abbas bin Abdul Muttalib, lalu Abbas berkata: “Ya Tuhanku sesungguhkan kami bertawassul (berperantara) kepadamu melalui Nabi kami maka turunkanlah hujan dan kami bertawassul dengan paman Nabi kami maka turunkanlah hujan, lalu turunlah hujan.

4. Nabi Muhammad SAW melakukan tawassul.

عن أبى سعيد الحذري قال : رسول الله صلى الله عليه وسلم : من خرج من بيته إلى الصلاة، فقال : اللهم إنى أسألك بحق السائلين عليك وبحق ممشاى هذا فإنى لم أخرج شرا ولا بطرا ولا رياءا ولا سمعة، خرجت إتقاء شخطك وابتغاء مرضاتك فأسألك أن تعيذنى من النار، وأن تغفر لى ذنوبى، إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت، أقبل الله بوجهه واستغفر له سبعون ألف ملك (أخرجه بن ماجه وأحمد وبن حزيمة وأبو نعيم وبن سنى).

Dari Abi Said al-Khudri: Rasulullah s.a.w. bersabda: “Barangsiapa keluar dari rumahnya untuk melaksanakan sholat, lalu ia berdoa: (artinya) Ya Allah sesungguhnya aku memintamu melalui orang-orang yang memintamu dan melalui langkahku ini, bahwa aku tidak keluar untuk kejelekan, untuk kekerasan, untuk riya dan sombong, aku keluar karena takut murka-Mu dan karena mencari ridla-Mu, maka aku meminta-Mu agar Kau selamatkan dari neraka, agar kau ampuni dosaku sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali diri-Mu”, maka Allah akan menerimanya dan seribu malaikat memintakan ampunan untuknya”. (Riwayat Ibnu Majad dll.).

Imam Mundziri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Majah dengan sanad yang ma’qool, akan tetapi Alhafidz Abu Hasan mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan.( Targhib Wattarhib 2/ 119).Alhafidz Ibnu Hajar mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan dan diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibnu Khuzaimah, Abu Na’im dan Ibnu Sunni.(Nataaij Al-afkar 1/272). Imam Al I’roqi dalam mentakhrij hadis ini dikitab Ikhya’ Ulumiddin mengatakan bahwa hadis ini adalah hasan, (1/323).

Imam Bushoiri mengatakan bahwa hadis ini diriwayatkan oleh Imam Ibnu Khuzaimah dan hadis ini shohih, (Mishbah Alzujajah 1/98).

Pandangan Para Ulama’ Tentang Tawassul Untuk mengetahui sejauh mana pembahasan tawassul telah dikaji para ulama, ada baiknya kita tengok pendapat para ulama terdahulu.

Kadang sebagian orang masih kurang puas, jika hanya menghadirkan dalil-dalil tanpa disertai oleh pendapat ulama’, walaupun sebetulnya dengan dalil saja tanpa harus menyertakan pendapat ulama’ sudah bisa dijadikan landasan bagi orang meyakininya. Namun untuk lebih memperkuat pendapat tersebut, maka tidak ada salahnya jika disini dipaparkan pandangan ulama’ mengenai hal tersebut.

Pandangan Ulama Madzhab Pada suatu hari ketika kholifah Abbasiah Al-Mansur datang ke Madinah dan bertemu dengan Imam Malik, maka beliau bertanya:”Kalau aku berziarah ke kubur Nabi saw, apakah menghadap kubur atau qiblat? Imam Malik menjawab: “Bagaimana engkau palingkan wajahmu dari (Rasulullah) padahal ia perantaramu dan perantara bapakmu Adam kepada Allah, sebaiknya menghadaplah kepadanya dan mintalah syafaat maka Allah akan memberimu syafaat”. (Al-Syifa’ karangan Qadli ‘Iyad al-Maliki jus: 2 hal: 32).

Demikian juga ketika Imam Ahmad bin Hanbal bertawassul kepada Imam Syafi’i dalam doanya, maka anaknya yang bernama Abdullah heran seraya bertanya kepada bapaknya, maka Imam Ahmad menjawab : “Syafii ibarat matahari bagi manusia dan ibarat sehat bagi badan kita” (Syawahid al-Haq, Yusuf bin Ismail an-Nabhani: hal, 166)

(شواهد الحق ليوسف بن إسماعيل النبهانى ص:166)

Demikian juga perkataan imam syafi’i dalam salah satu syairnya:

آل النبى ذريعتى # وهم إليه وسيلتى

أرجو بهم أعطى غدا # بيدى اليمن صحيفتى

( الصواعق المحرقة لأحمد بن حجر المكى ص:180)

“Keluarga Nabi adalah familiku, Mereka perantaraku kepadanya (Muhammad),

Aku berharap melalui mereka, agar aku menerima buku perhitunganku di hari kiamat nanti dengan tangan kananku” (Ash-Shawaiq al-Muhriqah Ahmad Ibn Hajar al-Makki, hal: 180)

- Pandangan Imam Taqyuddin Assubky

Beliau memperbolehkan dan mengatakan bahwa tawassul dan isti’anah adalah sesuatu yang baik dan dipraktekkan oleh para nabi dan rosul, salafussholeh, para ulama,’ serta kalangan umum umat islam dan tidak ada yang mengingkari perbuatan tersebut sampai datang seorang ulama’ yang mengatakan bahwa tawassul adalah sesuatu yang bid’ah. (Syifa’ Assaqom hal 160)

- Pandangan Ibnu Taimiyah

Syekh Ibnu Taimiyah dalam sebagian kitabnya memperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW tanpa membedakan apakah Beliau masih hidup atau sudah meninggal. Beliau berkata : “Dengan demikian, diperbolehkan tawassul kepada Nabi Muhammad SAW dalam doa, sebagaimana dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi:

أن النبي علم شخصا أن يقول : اللهم إنى أسألك وأتوسل إليك بنبيك محمد نبي الرحمة يا محمد إنى أتوجه بك إلى ربك فيجلى حاجتى ليقضيها فشفعه فيّ (أخرجه الترميذى وصححه).

Rasulullah s.a.w. mengajari seseorang berdoa: (artinya) “Ya Allah sesungguhnya aku meminta kepada-Mu dan bertwassul kepada-MU melalui Nabi-Mu Muhammad yang penuh kasih, wahai Muhammad sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Allah agar dimudahkan kebutuhanku maka berilah aku sya’faat”. Tawassul seperti ini adalah bagus (fatawa Ibnu Taimiyah jilid 3 halaman 276)

- Pandangan Imam Syaukani

Beliau mengatakan bahwa tawassul kepada nabi Muhammad SAW ataupun kepada yang lain (orang sholeh), baik pada masa hidupnya maupun setelah meninggal adalah merupakan ijma’ para shahabat.

- Pandangan Muhammad bin Abdul Wahab.

Beliau melihat bahwa tawassul adalah sesuatu yang makruh menurut jumhur ulama’ dan tidak sampai menuju pada tingkatan haram ataupun bid’ah bahkan musyrik. Dalam surat yang dikirimkan oleh Syekh Abdul Wahab kepada warga qushim bahwa beliau menghukumi kafir terhadap orang yang bertawassul kepada orang-orang sholeh., dan menghukumi kafir terhadap Al-Bushoiri atas perkataannya “YA AKROMAL KHOLQI” dan membakar Dalailul Khoirot. Maka beliau membantah : “Maha suci Engkau, ini adalah kebohongan besar. Dan ini diperkuat dengan surat beliau yang dikirimkan kepada warga majma’ah ( surat pertama dan kelima belas dari kumpulan surat-surat syekh Abdul Wahab hal 12 dan 64, atau kumpulan fatwa syekh Abdul Wahab yang diterbitkan oleh Universitas Muhammad Bin Suud Riyad bagian ketiga hal 68)



Dalil-dalil Yang Melarang Tawassul Menurut Pandangan Wahabi/Salafy

Dalil yang dijadikan landasan oleh pendapat yang melarang tawassul adalah sebagai berikut:

1. Surat Zumar, 2:

أَلَا لِلَّهِ الدِّينُ الْخَالِصُ وَالَّذِينَ اتَّخَذُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَاء مَا نَعْبُدُهُمْ إِلَّا لِيُقَرِّبُونَا إِلَى اللَّهِ زُلْفَى إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ بَيْنَهُمْ فِي مَا هُمْ فِيهِ يَخْتَلِفُونَ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي مَنْ هُوَ كَاذِبٌ كَفَّارٌ

Ingatlah, hanya kepunyaan Allah-lah agama yang bersih (dari syirik). Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat- dekatnya”. Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar.

Orang yang bertwassul kepada orang sholih maupun kepada para kekasih Allah, dianggap sama dengan sikap orang kafir ketika menyembah berhala yang dianggapnya sebuah perantara kepada Allah.

Namun kalau dicermati, terdapat perbedaan antara tawassul dan ritual orang kafir seperti disebutkan dalam ayat tersebut, tawassul semata dalam berdoa dan tidak ada unsur menyembah kepada yang dijadikan tawassul , sedangkan orang kafir telah menyembah perantara, tawassul juga dengan sesuatu yang dicintai Allah sedangkan orang kafir bertwassul dengan berhala yang sangat dibenci Allah.

2. Surah al-Baqarah [2] : 186

وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُواْ لِي وَلْيُؤْمِنُواْ بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ

Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdo’a apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.

Allah Maha dekat dan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Jika Allah maha dekat, mengapa perlu tawassul dan mengapa memerlukan sekat antara kita dan Allah.

Namun dalil-dalil di atas menujukkan bahwa meskipun Allah maha dekat, berdoa melalui tawassul dan perantara adalah salah satu cara untuk berdoa. Banyak jalan untuk menuju Allah SWT dan banyak cara untuk berdoa, salah satunya adalah melalui tawassul.

3. Surat Jin [72] : 18

وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ أَحَداً

Dan sesungguhnya mesjid-mesjid itu adalah kepunyaan Allah. Maka janganlah kamu menyembah seseorangpun di dalamnya di samping (menyembah) Allah.

Kita dilarang ketika menyembah dan berdoa kepada Allah sambil menyekutukan dan mendampingkan siapapun selain Allah. Seperti ayat pertama, ayat ini dalam konteks menyembah Allah dan meminta sesuatu kepada selain Allah. Sedangkan tawassul adalah meminta kepada Allah, hanya saja melalui perantara.

Kesimpulan

Tawassul dengan perbuatan dan amal sholeh kita yang baik diperbolehkan menurut kesepakatan ulama’. Demikian juga tawassul kepada Rasulullah s.a.w. juga diperboleh sesuai dalil-dalil di atas. Tidak diragukan lagi bahwa Nabi Muhammad SAW mempunyai kedudukan yang mulia disisi Allah SWT, maka tidak ada salahnya jika kita bertawassul terhadap kekasih Allah SWT yang paling dicintai, dan begitu juga dengan orang-orang yang sholeh.

Selama ini para ulama yang memperbolehkan tawassul dan melakukannya tidak ada yang berkeyakinan sedikitpun bahwa mereka (yang dijadikan sebagai perantara) adalah yang mengabulkan permintaan ataupun yang memberi madlorot. Mereka berkeyakinan bahwa hanya Allah-lah yang berhak memberi dan menolak doa hamba-Nya.

Lagi pula berdasarkan hadis-hadis yang telah dipaparkan diatas menunjukakn bahwa perbuatan tersebut bukan merupakan suatu yang baru dikalangan umat islam dan sudah dilakukan para ulama terdahulu. Jadi jikalau ada umat islam yang melakukan tawassul sebaiknya kita hormati mereka karena mereka tentu mempunyai dalil dan landasan yang cukup kuat dari Quran dan Hadist.

Tawassul adalah masalah khilafiyah di antara para ulama Islam, ada yang memperbolehkan dan ada yang melarangnya, ada yang menganggapnya sunnah dan ada juga yang menganggapnya makruh. Kita umat Islam harus saling menghormati dalam masalah khilafiyah dan jangan sampai saling bermusuhan.

Dalam menyikapi masalah tawassul kita juga jangan mudah terjebak oleh isu bid’ah yang telah mencabik-cabik persatuan dan ukhuwah kita. Kita jangan dengan mudah menuduh umat Islam yang bertawassul telah melakukan bid’ah dan sesat, apalagi sampai menganggap mereka menyekutukan Allah, karena mereka mempunyai landasan dan dalil yang kuat.

Inilah yang sering dilontarkan para pengikut buta Muhamad Bin Abdul Wahab, Meski menurut mereka untuk menegakkan tauhid tapi jalan yang ditempuh agak menyimpang dari jalan islam, Yaitu mencaci, mencela, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan sesama umat islam yang mereka anggap tidak sefaham dengan mereka.

Tidak hanya dalam masalah tawassul, sebelum kita mengangkat isu bid’ah pada permasalahan yang sifatnya khilafiyah, sebaiknya kita membaca dan meneliti secara baik dan komprehensif masalah tersebut sehingga kita tidak mudah terjebak oleh hembusan teologi permusuhan yang sekarang sedang gencar mengancam umat Islam secara umum.

Memang masih banyak kesalahan yang dilakukan oleh orang muslim awam dalam melakukan tawassul, seperti menganggap yang dijadikan tawassul mempunyai kekuatan, atau bahkan meminta-minta kepada orang yang dijadikan perantara tawassul, bertawassul dengan orang yang bukan sholeh tapi tokoh-tokoh masyarakat yang telah meninggal dunia dan belum tentu beragama Islam, atau bertawassul dengan kuburan orang-orang terdahulu, meminta-minta ke makam wali-wali Allah, bukan bertawassul kepada para ulama dan kekasih Allah. Itu semua tantangan dakwah kita semua untuk kita luruskan sesuai dengan konsep tawassul yang dijelaskan dalil-dalil di atas.

wahdina sabilal mubin… Wallahu a’lam bissowab
read more
Design by Faham Wahabi Visit Original Post Ahlus Sunnah Wal Jama'ah