KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI

Kisah Nyata:Bahayanya Faham Salafi/Wahabi,Kejamnya Wahabi,Busuknya Rayuan Wahabi,Bahayanya Doktrin Wahabi dan semacamnya sering saya dengar,namun sayangnya untuk menuliskan satu persatu rasanya agak susah.
karna kepengin banget memosting artikel yang mengisahkan kisah nyata bahayanya faham salafi/wahabi,saya mencoba mencari di internet dan alhamdulillah saya mendapati suatu kisah yang sangat menyentuh hati.
INILAH KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI dengan judul Kenapa Aku Meninggalkan Salafi

Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.
Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.
Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi, sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku menemukan teman-teman yang melaksanakan hadist yang dulu pernah kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan bagian dari sunnah Nabi.
Meskipun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern (celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk belajar mengalahkan rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku agak lama. Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya penampilanku yang tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu berlalu, aku semakin asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama, sang senior satu kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar Salafi.
Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong celana hingga di atas matakaki. Semua celana panjangku kukirim ke tukang jahit untuk “dirapikan” agar sama seperti celana-celana yang dipakai oleh anggota pengajian. Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak lagi celana lipatan. Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-teman Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang kuliah di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya aku tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?
Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa raut wajah mereka berubah ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata memang Salafi “mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas peran akal dalam memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah filsafat dikatakan dengan ucapan sinis. Berbagai istilah dilekatkan kepada filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.
Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah yang sedang kujalani saat ini adalah kuliah yang mempelajari ilmu yang dilarang dalam Islam? Suatu ketika kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi SAMA. Mempelajari filsafat itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3 aku mulai malas-malasan pergi ke kampus. Pagi hari dan siang hari aku hanya termanggu di asrama, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya aku telah salah memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum di Indonesia adalah hukum thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya, “Filsafat Haram dalam Islam”.
Akibat jarang mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan 2 aku berhasil meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di Salafi semakin intens. Beberapa kajian yang kuikuti telah melewati batas kota Jogja.
Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin lagi melanjutkan kuliah di filsafat. Kuberanikan diri bicara lewat telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah. Aku ingin masuk pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih mulia dari ilmu-ilmu lain. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan dari ustadz. Bapak marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Beberapa hari setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Tak henti Ibu menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa berat dengan “kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu itu.
Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak henti tangisan beliau ketika memintaku untuk memikirkan kerja keras Bapak menguliahkanku dengan biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak sanggup rasanya melihat Ibu bercucuran airmata. Hati kecil berontak, bimbang antara memilih “agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan ustadz-ustadz Salafi bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika melanggar perintah Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua?
Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku satu kamar yang mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh. Sibuk dengan kerja dan kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di Jogja demi kerja dan mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil, beliau kembali memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab melepas kepergian beliau dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan bilang sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku akan kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan selama ini. Berusaha keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam hati aku menguatkan tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau akhirnya aku membuat Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah dibilang membuang umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah dibilang sebagai pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku meskipun dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.
Titik balik itu berlangsung saat liburan semester 6, persis tiga tahun aku menjalani hidup sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk registrasi masuk kuliah semester 7. Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40 sks mata kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.
Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih senang dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari Ustadz, meskipun sesekali sentilan negatif terhadap filsafat tetap memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman Salafi semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi Salafi tapi kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui. Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan mengatakan filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku terheran-heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali. Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata kaki. Aku bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim sebagai salah satu pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan sesekali beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang paling benar sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia sudah lulus kuliah dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin menikmati perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah biasa. Tak ada lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan. Aku menjadi orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan. Filsafat telah membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan pola hitam-putih yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang lain dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kaum Sesat” yang didasarkan bingkai agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehilangan keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama sekali. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada orangtuaku. Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran untuk mengarahkannya kemana. Aku sudah tak peduli dengan omongan-omongan negatif tentang keadaanku sekarang. Terserah mereka mau bilang apa…
NB: Kutuliskan cerita ini setelah membaca berita penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam Madinah diadakan di Pesantren Gontor yang notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa pemerintah Saudi lebih percaya kepada Gontor daripada Pesantren-Pesantren Salafi yang saat ini sudah berdiri di berbagai kota di Indonesia??? Entahlah…Sumber kisah nyata ini bisa anda klik di judul diatas.
Semoga postingan ini bermanfaat


read more

Orang Wahabi Jangan Baca Ini Agar Tidak SEWOT

Aku Bosan dengan wahabi,aku muak dengan wahabi aku benci wahabi,kata kata seperti ini sering kali aku dengar kalau pas lagi bereng ngumpul sama teman teman.
Aku kira hanya aku seorang yang sebel sama orang wahabi,sibuk mikirin faham wahabi yang semakin dipelajari semakin gak ketahuan ngalor wetan-ne temor berek-e alias amburadul.
Apalagi pas kalau ada orang wahabi komentar di blog Blogger sunni yang lagi membongkar kedog Wahabi wih...hihihi...orang wahabi kayak orang kebakaran jenggot,dia mencaci maki membela faham wahabi dengan cacian dan kata kata kotor yang sama sekali tidak ada kaitannya dengan Postingan yang di Posting oleh Blogger sunni.

(Anda bisa melihat kata kata kotor para kaum wahabi yang tidak berakhlaqul karimah di sarkub.com,http://mahrusaligpl.blogspot.com/,Situs Blogger Muslim)
Kata kata mereka dan tingkah laku mereka sungguh sangat tidak sesuai dengan Apa yang tlah diajarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Sudah lama saya sering berdebat dengan orang wahabi,baik berhadap hadapan maupun lewat internet,namun sayangnya sampai saat ini masih belum ada yang bisa menjawab semua pertanyaan yang diajukan dengan dalil oleh orang orang wahabi/salafi yang katanya selalu berpegang teguh kepada alqur'an dan hadits.
aku rasa mereka harus membuat nama baru saja,nama salafi dan wahabi sudah sangat jelas SESATNYA.
WAHABI/SALAFI adalah islam palsu,pembawa kehancuran islam dari dalam dan antek nasrani sejati,adik ipar syi'ah.
hemm..sepertinya sedikit lega deh,setelah mengeluarkan uneg uneg yang tertahan.
so..buat kaum wahabi dan siapapun yang berfaham wahabi,harap kalau komentar yang enak,yang baik dan pakailah dalil,agar kita (kaum muslimin yang waras ini gak ikut stres kayak kalian).
read more

Wahabi Dan Sunni Mungkinkah Bisa Bersatu

Mungkinkah Sunni Dan Wahabi Bisa Bersatu?
Pertanyaan seperti ini banyak dilontarkan oleh orang orang yang masih belum begitu faham mengenai faham wahabi,sejarah berdirinya wahabi dan sepak terjang kaum wahabi.
Saya juga sering menjumpai banyak komentar seperti diatas dibeberapa situs yang membahas ahlus sunnah wal jama'ah (ASWAJA/SUNNI) dan Salafi/Wahabi.
Kenapa mereka mempunyai pendapat seperti itu?
Mereka mempunyai pendapat seperti dikarenakan mereka tidak mengetahui dan memahami apa itu wahabi,bagaimana sejarah berdirinya wahabi,siapa yang mendirikan wahabi,siapa panutan wahabi,bagaimana sepakterjang wahabi.
Yang selalu tidak bisa berdamai dan bersatu itu adalah golongan wahabi sendiri,bukan golongan sunni.
Sunni adalah kelompok islam yang paling benar dan paling besar,lalu kenapa wahabi berpecah diri dan memecah belah golongan islam sunni dengan dalih bid'ah dan dengan angkara murka sampai sampai mengumpat,membunuh bahkan sampai mengebom orang islam yang tidak sefaham dengan mereka,seperti yang dilakukan golongan wahabi kepada kaum sunni?
kata Bid'ah adalah sesuatu yang sangat jelek dalam agama islam,sesuai dengan sabda rasulullah SAW

كُلُّ بِدْعَةٍ حَسَنَةٍ ضَلاَ لَةٌ وَكُلُّ ضَلاَ لَةٍ فِى النَّارِ
“Semua bid’ah yang baik sesat, dan semua yang sesat masuk neraka”.
Siapa Yang Menempati Neraka?
Yang Menempati neraka tak lain hanyalah orang orang kafir dan syaythan/setan dan Iblis,mereka penghuni neraka yang kekal.
Selain mereka yang menghuni neraka adalah kelompok orang orang munafik,fasik dan dhalim.
kalau melihat dari sini maka pantaslah apabila golongan sunni tidak terima mereka dikatakan golongan setan dan kafir.
orang wahabi selalu saja dengan gampangnya mengatakan ini bid'ah,ini kafir/kufur dll.
apakah mereka tidak sadar akan ucapan mereka yang sebenarnya sangat menyakitkan dan ssangat tidak berdasar bahkan sebenarkan menjadi bumerang bagi mereka sendiri?!!
lalu bisa orang islam menerima apabila dia dikatakan kafir?
bisakah menerima orang yang tidak berzina dikatakan berzina?
bisakah menerima orang yang tidak mencuri dikatakan mencuri?
tentu tidak!
apalagi golongan sunni,mereka tidak akan menerima,karna mereka sadar,apabila mereka dikatakan ahlul bid'ah,berarti mereka dan orang tua mereka,saudara mereka,tetangga mereka,guru guru mereka para salafush shahih yang mereka kagumi seperi imam syafi'i,hambali dll adalah ahlul bid'ah.
Kesimpulannya:
Yang merusak dan mencari cari celah perpecahan itu adalah golongan salafi/wahabi.
Sunni hanyalah kelompok yang menjadi obyek cacian dan pembataian kaum wahabi dan syi'ah.
Dan kalau ada orang sunni membuat artikel yang mencaci balik kepada wahabi dan syi'ah apakah salah?
Apakah orang sunni harus tidak punya rasa marah?
apakah orang sunni harus selalu menjadi bulan bulanan?
Mohon bagi semua kaum muslim yang tidak faham mengenai wahabi dan syi'ah jangan langsung menyatakan sunni suka membantah dan menghina wahabi dan syi'ah.
karna sebelum mereka ada,kami SUNNI AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH SUDAH ADA DAN HIDUP RUKUN,TENANG DAN TUMA'NINAH MELAKSANAKAN KEWAJIBAN KEWAJIBAN DALAM ISLAM DAN SUNNAH RASULULLAH SAW.
Semoga postingan ini bisa memberi pencerahan bagi anda yang menganggap sunni suka menghina wahabi dan syi'ah.

suapan semangat buat NU
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
ta'wil imam bukhari membungkam wahabi junior
Hadits Penjelasan Khawarij
ciri ciri kaum wahabi
sebaian pengurus NUpun terjangkit virus wahabi
hukum shalat rebo wekasan
Wahabiyah Mengkafirkan Umat Islam Tanpa Alasan Yang Benar
Wahabi Tak Berkutik
Mengenai Puasa Rajab
Wahhabi
Wahabi
Debat Aswaja vs Wahabi di Universitas Melbourne
Siapa Wahabi
Hukum Berdo’a dengan Tawassul
Orang Yang Bisa Memberi Syafa’at
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (6)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (5)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (4)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (3)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (2)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (1)
tidak semua perkara yang baru itu bid'ah
Ciri Ciri Wahabi
Ulama Ahlus sunnah wal jama'ah Menentang Aqidah Tasjim Tasybih Ibnu Taimiyah
wahabi:maulid nabi bid'ah,peringatan abdul wahhab wajib
Hukum Menyiram Kuburan dengan Air Bunga
Ibnu Harzaham Yang Akan membakar kitab Ihya '
tafsir QS Al-Mulk ayat16
Wahhabi sect
Movement history of Wahhabism
Sejarah Gerakan Wahhabisme
sekte wahabi
mengenai tawassul/istighatsah
Salah satu kesesatan Ibnu Taimiyah Bahwa Neraka Akan Punah
dalil tawassul bag 1
KITAB REKAYASA WAHABI
Terjemahan Kitab Ta’lim Muta’allim
Hujjah Imam Hanafi dalam Kitab Alwasiat) Kalahkan Aqidah sesat salafy/wahaby
Sejarah Dan Implikasi Ke Atas Masyarakat
Wahabi Anak Kandung Kristen Tapi Mendurhakainya
Wahabi atau Sunni yang Mirip dengan Kristen
MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI

read more

Sejarah Dan Implikasi Ke Atas Masyarakat



inilah video Ustadz shahul hamid yang menjelaskan mengenai wahabi.
insya allah dengan mengkaji ini anda akan lebih faham mengenai wahabi dan betapa bahayanya wahabi.
silahkan anda tonton dan selamat mengaji,semoga allah selalu mencurahkan hidayahnya buat kita amin.





read more

Wahabi Anak Kandung Kristen Tapi Mendurhakainya

Wahabi adalah anak kandung agama kristen tapi mendurhakainya,kenapa wahabi dikatakan anak kandung kristen?
ini adalah fakta,coba anda lihat faham wahabi,coba anda lihat sejarah berdirinya wahabi!
anda masih belum faham atau belum percaya?
silahkan anda baca ini " Sejarah Gerakan Wahhabisme" untuk mengetahui sejarah wahabi,dengan melihat sejarah anda akan lebih faham dan insya allah anda akan tahu kenyataannya,bahwa wahabi adalah alat penghancur islam yang dibuat oleh orang kristen.
silahkan anda baca "Apakah Allah berada di Langit?" agar anda tahu seperti apa faham wahabi itu.
silahkan anda baca"Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (6) Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (5) Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (4) Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (3) Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (2) Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (1) agar anda tahu sepak terjangnya para pemeluk agama wahabi.
Wahabi ternyata durhaka kepada ibunya (agama kristen) dengan mencaci maki dan mempersulit pembangunan gereja,namun setelah ada ketegangan dengan kristen wahabi itu sembunyi,dan menjadikan sunni sebagai kambing hitamnya.
contohnya,siapa pertama kali mencaci agama kristen di internet?
dari pihak yang mengaku islam ternyata hanya wahabi (islam palsu) ini yang pertama tama mencaci kristen,setelah itu wahabinya lenyap dan berbelok menyerang orang islam,alhasil islam dan kristen berperang,baik di internet maupun di dunia nyata.
jadi berhati hatilah dari makar busuk kaum wahabi.
Artikel terkait:

  1. Wahabi atau Sunni yang Mirip dengan Kristen
  2. MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI
  3. sekte wahabi 
  4. KITAB REKAYASA WAHABI
read more

Wahabi atau Sunni yang Mirip dengan Kristen

Artikel Ngawur kaum wahabi yang tak berilmu memang sangat membahayakan.
anda bisa baca artikel dibawah ini,saya langsung copy paste seutuhnya agar ini sangat jelas buat anda.
silahkan anda yang menetukan,siapa yang benar menurut anda,sunni apa wahabi?

Wahabi ataukah Sunni yang Membela Kristen

Pembelaan Kaum Wahabi Terhadap Nasroni Ternyata Bukan Hisapan Jempol Belaka
Dalam kesempatan kali ini saya akan posting artikel yang asli saya ambil dari postingan orang wahabi.
Postingan Pertama:
1. Sunni Pembela Kristen Agama Sesat

kaum sunni dengan bangga memosting artikel yang membela kristen,dan mencaci pengikut salafus-shalih dengan nama wahabi
wahabi berfatwa untuk menghancurkan gereja
RIMANEWS - Dewan Ahlul Bait Sedunia mengutuk fatwa terbaru yang dikeluarkan oleh pejabat keagamaan Arab Saudi, yang menyerukan penghancuran semua gereja di Semenanjung Arab.

Fatwa terakhir Mufti Agung Sheikh Abdulaziz bin Abdullah dikeluarkan sebagai respon terhadap keputusan parlemen Kuwait pekan lalu, yang melarang pembangunan gereja-gereja baru di negara itu.

"Mengingat negara Teluk Persia kecil dan merupakan bagian dari Semenanjung Arab, maka perlu untuk menghancurkan semua gereja-gereja di wilayah itu," kata Sheikh Abdulaziz seperti dilaporkan media Arab.

Dewan Ahlul Bait Sedunia dalam sebuah pernyataan pada Selasa (27/3) mengatakan, "Pertama-tama, Mufti Wahabi tidak mewakili Islam. Dunia harus tahu bahwa agama yang sekarang sedang dipublikasikan di Arab Saudi, bukan Islam yang sesungguhnya."

Pernyataan itu menambahkan bahwa isi fatwa baru tersebut bertentangan dengan perintah Allah Swt serta sunnah Nabi Muhammad Saw dan keturunannya. Oleh karena itu, ditolak tidak hanya oleh komunitas Syiah, tetapi juga oleh Muslim Sunni.

Dewan Itu mencatat bahwa sepanjang sejarahnya, Islam telah hidup berdampingan dengan umat Kristen dan Yahudi dan fatwa seperti itu tidak pernah dikeluarkan oleh Rasul Saw, keturunannya, dan khalifah Islam selanjutnya.

"Selain Rasul Saw, keturunannya, dan para sahabat, juga tidak ada ulama yang pernah mengeluarkan fatwa seperti itu selama 1.400 tahun terakhir," tambahnya.

"Karena itu, Mufti Agung Wahabi telah mengeluarkan fatwa di luar kerangka yurisprudensi Islam dan belum pernah dikeluarkan oleh pusat-pusat ilmiah besar umat Islam," tegas pernyataan itu.

Menurut Dewan Ahlul Bait Sedunia, fatwa tersebut juga merupakan intervensi terang-terangan dalam urusan internal negara-negara Muslim lainnya, karena Mufti Saudi mengeluarkan fatwa tidak hanya terbatas untuk wilayah Saudi, tapi sudah termasuk Semenanjung Arab secara keseluruhan.

Dewan Ahlul Bait Sedunia juga mengecam sikap bungkam para cendekiawan Muslim dalam menanggapi fatwa yang merusak citra Islam itu.

"Bukankah ulama dari berbagai mazhab di Mesir, Irak, Tunisia, Suriah, Lebanon, Yaman, Jazirah Arab dan belahan dunia lain, seharusnya mereaksi fatwa yang memberikan gambaran tidak benar mengenai Islam di dunia?" tanyanya.

Di akhir pernyataannya, Dewan Ahlul Bait Sedunia mengkritik organisasi internasional hak asasi manusia serta pemerintah Barat dan Kristen atas dukungan mereka terhadap radikalisme kelompok Wahabi.
Sunni Menentang Jihad agung para salafus-shalih karna mereka mencintai kristen,dalih toleran kepada musuh nyata kaum muslim.
coba anda lihat,didaerah yang penduduk islam sedikit maka selalu saja kaum kristen sesat itu menekan dan menjadikan kaum muslim sebagai budak.
masjid tidak mendapat izin untuk dibangun dan sebagainya,itulah sikap asli para kristen sesat.
ironisnya malah mereka mendapat bantuan yang gigih dari sunni yang mengaku ngaku islam.


Postingan Kedua
2. Sunni Wajah Baru Kristen Agama Sesat

Kenapa Sunni khususnya nahdliyin membenci salafi yang mereka panggil dengan wahabi?
Banyak Jawaban yang perlu untuk menuntaskan jawaban dari pertanyaan diatas,namun dalam kesempatan kali ini saya akan sedikit memberi jawaban mengenai pertanyaan diatas.
sunni yang khususnya warga NU itu tak lain adalah wujud lain dari wajah kristen dan yahudi.
Bukti yang paling Rasional Bahwa mereka adalah wajah baru dari kristen dan yahudi adalah:
1. mereka sama sama membuat perayaan,kalau krsiten membuat perayaan memperingati hari lahirnya yesus sedangkan sunni mengadakan maulid nabi.
hari lahir yesus dan maulid nabi itu cuma beda nama,namun hakekatnya sama,sama saja dengan menyebutkan judi dengan togel,keduanya memang beda dalam kalimat dan penyebutannya,namun hakekatnya sama saja,kedua duanya adalah judi dan sama sama haram.
2. orang sunni melakukan ritual yang sama dengan nasrani/kristen dalam pengagungan pada tokoh mereka.
mereka sama sama mencari berkah melalui barang barang orang yang mereka sucikan.
orang kristen mensucikan gambar salib,jubah yesus,air dari pastur dll.
orang sunni mencari berkah dengan air dari kyai,akik,rajah,jubah para kyai mereka dll.
sangat sangat sama antara keduanya,karna keduanya memang satu namun lain wajah,mereka hanya berkedok islam,namun intinya merekalah penghancur islam.
3. sunni adalah suatu golongan yang mengaku islam namun selalu berada di barisan terdepan membela kristen.
alasan mereka adalah toleran,toleran pastinya ada batasnya,allah sudah berfirman dalam surat alkafirun:

قُلْ يَا أَيُّهَا الْكَافِرُونَ (١

لا أَعْبُدُ مَا تَعْبُدُونَ (٢

وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٣

وَلا أَنَا عَابِدٌ مَا عَبَدْتُمْ (٤

وَلا أَنْتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ (٥

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ (٦

1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir,

2. Aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah.

3. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.

4. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah,

5. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah.

6. Untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku."

Di surat al-kafirun ini hanya menunjukkan bahwa orang islam sekedar tidak perlu membenci dan mencegah perbuatan mereka,apabila mereka memang hidup bersama dengan kita.BUKAN membantu dan ikut ikutan apa yang mereka jalani.
tapi apabila mereka (orang kristen,yahudi) menggangu kaum muslim,maka kaum muslim wajib memerangi mereka,dan hal seperti itu hanyalah pengikut salaflah yang melaksanakan,sedangkan kaum sunni hanya ngomong saja tidak ada tindakan yang mendukung.
Lihatlah Gerakan amaliyah mulya Para Ulama' salaf dalam menghalang besarnya Gereja,namun mendapat Hujatan dari para ulama' sunni (si wajah baru kristen dan yahudi).
dimana mana kaum salafilah yang tak kenal lelah memerangi kaum kristen bodoh nan sesat laknatullah.
kaum sunni hanyalah budak mereka.
silahkan anda baca juga artikel yang berjudul Sunni Pembela Kristen Agama Sesat insya allah anda lebih faham lagi bahwa sunni itu adalah wajah baru dari kristen agama bodoh.
Sebelum anda menyimpulakan,alangkah lebih baiknya anda baca postingan postingan yang ada disini,anda kaji lalu fahami dan tentukan,wahabi ataukah sunni yang menjadi anjing kristen?




read more

MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI

Untuk Mengetahui Tanda Tanda Wahabi dan mengetahui Gerakan Mereka Mari kita lihat lebih jauh lagi mengenai mereka dipostingan kali ini yang saya beri judul MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI.
semoga artikel ini ada faidahnya buat kaum muslimin ajma'in.
mengenai Ciri-Ciri Wahabi silahkan anda klik Ciri Ciri WahabiSiapa Yang Dibela Wahabi? silahkan anda baca artikel ini:

Bagi orang yang memiliki dua mata yang mampu memandang kebenaran, cobalah buka kedua matamu pasti kamu akan mengetahui bahwa Wahabiyah adalah pendukung pertama penjajahan barat terhadap negara-negara Islam. Tidak sampai di sini saja, apabila kamu mengikuti sejarah Muhammad ibn Abdul Wahhab dan para pemimpin Wahabiyah setelahnya, kamu tidak akan pernah menemukan upaya nyata mereka dalam mensejahterakan umat, menegakkan keadilan, mencegah kedzaliman dan melawan kebodohan. Juga andil mereka dalam upaya perdamaian dan kesejahteraan.

Tidak akan kamu temukan dalam sejarah mereka kecuali pengkafiran terhadap umat Islam dan tuduhan syirik, mewajibkan untuk memerangi mereka serta menghalalkan darah dan harta mereka. Dalam diri mereka yang ada hanyalah aqidah tajsim, tasybih, kufur, sesat dan pengingkaran ziarah makam Rasulullah dan makam orang-orang yang shalih untuk bertabarruk, dan pengkafiran terhadap orang yang mengatakan: “Wahai nabi pembawa rahmat mintakan syafaat untukku kepada Allah!!”. Dan mengingkari perayaan maulid nabi yang mulia seperti yang telah biasa dilakukan oleh kalangan ahlussunnah, mengharamkan membaca al Qur’an bagi umat Islam yang telah meninggal dunia, inilah rutinitas mereka tidak ada yang lain.

Inilah satu-satunya tujuan mereka dengan kedok agama mereka menumpahkan darah umat Islam yang tidak berdosa, menghalalkan yang haram, dan menyebarkan fitnah demi fitnah. Sungguh licik hati mereka penuh dengan kedengkian dan kebencian serta suka membuat masalah pada umat.

Bahkan, mereka jadikan barat sebagai qiblat dan mereka dukung para penjajah untuk menginjak-injak martabat negara-negara Arab dan Islam. Mereka adalah kepanjangan tangan musuh-musuh Islam yang dengan semaunya mereka permainkan Islam.

Sedangkan permusuhan Wahabiyah kepada umat Islam secara gamblang bisa dilihat dari fatwa Nashiruddin al Albani ketika memberikan fatwa kepada penduduk palestina dengan mewajibkannya keluar dari Palestina, apa kemaslahatan dari ini semua? Dan untuk siapa kita tinggalkan Palestina jika kita mewajibkan penduduknya meninggalkan Palestina? Berapa harga fatwa ini? Orang yang cerdas adalah orang yang memahami isyarat ini. Siapa yang membayar al Albani untuk fatwanya ini???

Inilah kenyataan dari apa yang telah mereka dilakukan, atau yang sedang mereka lakukan juga rencana busuk mereka di masa mendatang.

Wahabiyah mengklaim bahwa mereka hanya mengikuti Nabi dan tidak membuat bid’ah. Aqidah mereka yang telah kita paparkan bersumber dari kitab-kitab mereka adalah saksi kebohongan mereka, jelas mereka pembuat bid’ah dalam aqidah. Dalam sebagian aqidah Wahabi mengikuti Yahudi, Fir’aun dan Hamman terbukti mereka berhujjah dengan aqidah orang-orang ini. Bahkan dalam hal menetapkan arah, batasan, tempat, duduk, bergerak, diam, berat, timbangan, lisan, mulut kepada Allah, mereka mengambil pernyataan Yahudi, Fir’aun dan Hamman. Juga Aqidah Wahabi yang mengatakan Allah berada di atas Arsy dengan dzat-Nya, di langit dengan dzat-Nya, Allah memiliki kursi di setiap langit untuk tempat dudukNya.

Kami menantang mereka, apakah mereka siap untuk menunjukkan siapa yang mereka ikuti dalam hal itu? Apabila mereka berbicara atau menulis tidak ada yang diikuti oleh mereka dalam hal itu kecuali Fir’aun, Hamman, Yahudi danMusyabbihahsebagaimana hal itu terlihat jelas, sejelas matahari di siang bolong yang tidak terhalang mendung. Apabila kita

beri waktu dari sekarang hingga dunia berakhir mereka tidak akan mampu untuk membuktikan satu hurufpun apa yang mereka selewengkan bahwa hal itu berdasarkan sabda Nabi, pendapat para sahabat, tabi’in atau dari seorang mujtahid Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Jadi Aqidah Wahabiyah adalah aqidah yang rapuh bahkan lebih rapuh dari sarang laba-laba. Tidak ada panutan mereka kecuali orang-orang bodoh dan kafir yang telah Allah kehendaki bahwa mereka sesat menyesatkan serta tidak ada cahaya dalam hati-hati mereka. Jadi Wahabiyah adalah pembawa bid’ah dan bukan muttabiah (orang yang mengikuti nabi).

(Fadhoih al-Wahabiyah – Syaikh Fathi al-Mishri. Diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dalam buku berjudul “Radikalisme Sekte Wahabiyah”)
mengenal muhaddits ahlus sunnah wal jama'ah dan muhaddits wahabi

Para Ulama telah menetapkan kriteria yang ketat agar hanya benar-benar ‘orang yang memang memenuhi kriteria sajalah’ yang layak menyadang gelar muhaddits seperti yang diungkapkan oleh Imam Sakhowi tentang siapa Ahli Hadits (muhaddits) itu sebenarnya:
“Menurut sebagian Imam hadits, orang yang disebut dengan Ahli Hadits (Muhaddits) adalah orang yang pernah menulis hadits, membaca, mendengar, dan menghafalkan, serta mengadakan rihlah (perjalanan) keberbagai tempat untuk, mampu merumuskan beberapa aturan pokok (hadits), dan meng- komentari cabang dari Kitab Musnad, Illat, Tarikh yang kurang lebih mencapai 1000 buah karangan. Jika demikian (syarat-syarat ini terpenuhi -pent) maka tidak diingkari bahwa dirinya adalah ahli hadits. Tetapi jika ia sudah mengena- kan jubah pada kepalanya, dan berkumpul dengan para penguasa pada masa- nya, atau menghalalkan (dirinya memakai-pent ) perhiasan lu’lu (permata-pent) dan marjan atau memakai pakaian yang berlebihan (pakaian yang berwarna-warni -pent). Dan hanya mempelajari hadits Al-Ifki wa Al-Butan. Maka ia telah merusak harga dirinya, bahkan ia tidak memahami apa yang dibicarakan kepadanya, baik dari juz atau kitab asalnya. Ia tidak pantas menyandang gelar seorang Muhaddits bahkan ia bukan manusia. Karena dengan kebodohannya ia telah memakan sesuatu yang haram. Jika ia menghalalkannya maka ia telah keluar dari Agama Islam” ( Lihat Fathu Al-Mughis li Al-Sakhowi, juz 1hal. 40-41).

Sehingga yang layak menyandang gelar ini adalah ‘Para Muhaddits’ generasi awal seperti Imam Bukhari, Imam Muslim, Imam Abu Dawud, Imam Nasa’i, Imam Ibn Majah, Imam Daruquthni, Imam Al-Hakim Naisaburi, Imam Ibn Hibban dan lain-lain.

Kapasitas Keilmuan Imam Bukhari r.a

Ketika Imam Bukhari r.a. mengunjungi Bagdad, para ahli hadis di kota tersebut mendengar kedatangannya. Mereka hendak mengujinya dengan berbagai cara termasuk mencampuradukkan isi hadis untuk membingungkannya.

Mereka juga mengacak-acak hadis dengan menukar-nukar perawinya. Tugas ini diserahkan kepada sepuluh orang yang masing-masing mengeluarkan sepuluh hadits palsu.

Ketika Imam Bukhari menggelar majelis ilmu, mereka ikut bergabung di dalam majelis tersebut guna menanyakan kebenaran hadis-hadis yang telah direkayasa tersebut. Tidak lupa mereka juga mengundang ahli hadis dari luar Bagdad untuk meramaikan perdebatan yang akan terjadi.

Satu per satu dari mereka mengemukakan hadis palsunya kepada Al-Bukhari dan beliau selalu menjawabnya dengan dua kata, “Tidak tahu,” …. “tidak tahu,”….. dan “tidak tahu.”

Para undangan yang merupakan ahli hadis saling berpandangan satu sama lain. Sebagian dari mereka mengakui kalau Al-Bukhari memang benar-benar orang yang paham akan hadis, tetapi sebagian lain malah menyangsikan bahwa ia menguasai semua itu.
Setelah kesepuluh dari mereka mengemukakan hadis rekayasanya, Al-Bukhari memandang orang pertama yang mengemukakan hadis. Dengan brilian ia mengoreksi isi hadis rekayasa itu satu per satu sekaligus menyusun kembali para perawinya dengan benar. Begitu juga dengan orang kedua hingga kesepuluh, ia koreksi satu per satu hadis yang mereka ajukan tanpa ada yang terlewat sedikit pun.
Setelah itu, semua orang mengakui ketajaman, daya ingat, dan keistimewaan Imam Bukhari

Kapasitas Keilmuan Syech Ngalbani

Di kalangan salafi (wahabi), lelaki satu ini dianggap muhaddis paling ulung di zamannya. Itu klaim mereka. Bahkan sebagian mereka tak canggung menyetarakannya dengan para imam hadis terdahulu. Fantastis. Mereka gencar mempromosikannya lewat berbagai media. Dan usaha mereka bisa dikata berhasil. Kalangan muslim banyak yang tertipu dengan hadis-hadis edaran mereka yang di akhirnya terdapat kutipan, “disahihkan oleh Albani, ”. Para salafi itu seolah memaksakan kesan bahwa dengan kalimat itu Al-Albani sudah setaraf dengan Imam Turmuzi, Imam Ibnu Majah dan lainnya.
Sebetulnya, kapasitas ilmu tukang reparasi jam ini sangat meragukan (kalau tak mau dibilang “ngawur”). Bahkan ketika ia diminta oleh seseorang untuk menyebutkan 10 hadis beserta sanadnya, ia dengan entengnya menjawab, “Aku bukan ahli hadis sanad, tapi ahli hadis kitab.” Si peminta pun tersenyum kecut, “Kalau begitu siapa saja juga bisa,” tukasnya.
Namun demikian dengan over pede-nya Albani merasa layak untuk mengkritisi dan mendhoifkan hadis-hadis dalam Bukhari Muslim yang kesahihannya telah disepakati dan diakui para ulama’ dari generasi ke generasi sejak ratusan tahun lalu. Aneh bukan?
orang wahabi mengatakan allah itu berwujud sama dengan makhluknya dan menganggap allah duduk di arsy diatas langit.
untuk mengetahui dalilnya anda bisa lihat di Apakah Allah berada di Langit?untuk mengetahui mengenai wahabi lebih jauh lagi dan lebih mendalam lagi silahkan baca artikel artikel di bawah ini:




read more

Hukum Mengamalkan Hadits Dho'if




Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah Ta’aala yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.

Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?

Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.

Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah Ta’aala) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:



Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.

Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:

“Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)

Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.

Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.

(Tulisan diatas saya ambil dari catatan guru saya KH. Thobary Syadzily – Ponpes Al-Husna Tangerang – Jawa Barat)

Sedikit tambahan dari penulis,

Pernyataan al-Imam an-Nawawi rahimahullaah di atas juga diperjelas lagi oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah di dalam kitab at-tadrib ar-Rawi jilid 1 halaman 162 disebutkan sebagai berikut:

Kitab Tadrib ar-Rawi juz 1 halaman 162



“Dan apabila engkau hendak menyampaikan suatu riwayat dhoif tanpa sanad yang kuat, hendaknya janganlah engkau mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam” atau perkataan yang semisalnya sebagai penegasan akan hal itu (kedhoifan sanadnya), akan tetapi katakanlah: “Aku sampaikan riwayat”, atau “Telah sampai kepada kami suatu riwayat”, atau “Telah disebutkan dalam sebuah riwayat”, atau “Telah datang suatu riwayat”, atau “Kami telah menukil sebuah riwayat” atau yang serupa daripada ucapan tersebut, dan diperbolehkan oleh sebagian kalangan ahli hadits untuk tasahul (memperlonggar) di dalam hal sanad-sanad yang lemah dan meriwayatkan hadits dhoif yang bukan maudhu’ (palsu) dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kedhoifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Keterangan al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah diatas, menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Adab di dalam membawakan hadits dho’if, yaitu hendaknya tidak menyebutkan “قال رسول الله صلى الله عليه وسلم” (artinya: Telah bersabda Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam), namun hendaknya mengucapkan kalimat “Aku sampaikan riwayat” dan kalimat yang semisalnya.

2. Diperbolehkannya mengamalkan hadits dho’if untuk fadha’il a’mal. Dan tidak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sifat-sifat Allah Ta’aala, hukum-hukum halal dan haram, dan tidak berkaitan dengan aqidah.

3. Tidak diperbolehkannya mengamalkan hadits maudhu’ (palsu).




read more

Hadits Shahih Yang Di-Dhoifkan Kaum Wahhabi

Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebut secara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).
Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).
Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).
Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).
Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.
Bersama Kaum Wahabi
Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:
ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ

Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath­-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalihikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:
عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ

Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).

Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.

Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ

Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.
Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukantadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atautadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitutadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ
(الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠)

Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).

Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:
مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ

Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:
١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.

1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).

Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Haditsmelalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelahikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.



read more

Apakah Allah berada di Langit?

Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”

Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
الصافات : ٩٩

“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).

Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.

Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
رواه البخاري

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Dikutip dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.


read more
Design by Faham Wahabi Visit Original Post Ahlus Sunnah Wal Jama'ah