Hukum Mengamalkan Hadits Dho'if




Hadits merupakan salah satu sumber hukum Islam, yang fungsinya menjelaskan, mengukuhkan dan ‘melengkapi’ firman Allah Ta’aala yang terdapat dalam Al-Qur’an. Di antara berbagai macam hadits, ada istilah Hadits Dha’if.

Dalam pengamalannya, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama. Sebagian kalangan ada yang tidak membenarkan untuk mengamalkan Hadts Dha’if. Bahkan ada yang mengatakan bahwa Hadits tersebut bukan dari Nabi Muhammad Shollallaahu ‘alaihi wa sallam. Lalu apakah sebenarnya yang disebut Hadits Dha’if itu? Benarkah kita tidak boleh mengamalkan Hadits Dha’if?

Secara umum Hadits terbagi ke dalam tiga bagian, yaitu:

Pertama, Hadits Shahih, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh orang yang adil, punya daya ingatan yang kuat, mempunyai sanad (mata rantai orang-orang yang meriwayatkan hadits) yang bersambung ke Rasulullah Shollallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak memiliki kekurangan serta tidak syadz (menyalahi aturan umum). Para ulama sepakat bahwa hadits ini dapat dijadikan dalil, baik dalam masalah hukum, aqidah dan lainnya.

Kedua, Hadits Hasan, yakni hadits yang tingkatannya berada di bawah Hadits Shahih, karena para periwayat hadits ini memiliki kualitas yang lebih rendah dari para perawi Hadits Shahih. Hadits ini dapat dijadikan sebagai dalil sebagaimana Hadits Shahih.

Ketiga, Hadits Dha’if, yakni hadits yang bukan Shahih dan juga bukan Hasan, karena diriwayatkan oleh orang-orang yang tidak memenuhi persyaratan sebagai perawi hadits, atau para perawinya tidak mencapai tingkatan sebagai perawi Hadits Hasan.

Hadits Dha’if ini terbagi menjadi dua. Pertama, ada riwayat lain yang dapat menghilangkan dari ke-dha’if-annya. Hadits semacam ini disebut Hadits Hasan li Ghairih, sehingga dapat diamalkan serta boleh dijadikan sebagai dalil syar’i. Kedua, hadits yang tetap dalam ke-dha’if-annya. Hal ini terjadi karena tidak ada riwayat lain yang menguatkan, atau karena para perawi hadits yang lain itu termasuk orang yang dicurigai sebagai pendusta, tidak kuat hafalannya atau fasiq.

Dalam kategori yang kedua ini, para ulama mengatakan bahwa Hadits Dha’if hanya dapat diberlakukan dalam fada’ilul a’mal (keutamaan beramal), yakni setiap ketentuan yang tidak berhubungan dengan akidah, tafsir atau hukum, yakni hadits-hadits yang menjelaskan tentang targhib wa tarhib (janji-janji dan ancaman Allah Ta’aala) sebagaimana diterangkan di dalam kitab “Al-Adzkar” karya Imam Nawawi, cetakan pertama “Maktabah Tijariyah al-Kubra” tahun 1356 H / 1938 M halaman 7 sebagai berikut:



Artinya: “Para ulama hadits dan fiqih serta ulama lainnya berkata: Diperbolehkan bahkan disunnahkan mengamalkan hadits dha’if dalam keutamaan beramal, baik berupa anjuran maupun larangan selama hadits itu bukan hadits maudhu’”.

Bahkan ada sebagian ulama yang mengatakan bahwa telah terjadi ijma’ di kalangan ulama tentang kebolehan mengamalkan Hadits Dha’if jika berkaitan dengan fadha’ilul a’mal ini. Sedangkan dalam masalah hukum, tafsir ayat Al-Qur’ an, serta akidah, maka apa yang termaktub dalam hadits tersebut tidak dapat dijadikan pedoman. Sebagaimana yang disitir oleh Sayyid ‘Alawi al-Maliki dalam kitabnya Majmu’ Fatawi wa Rasa’il:

“Para ulama ahli Hadits dan lainnya sepakat bahwa Hadits Dha’if dapat dijadikan sebagai pedoman dalam masalah fadha’il al-a’mal. Di antara ulama yang mengatakannya adalah Imam Ahmad bin Hanbal, Ibn Mubarak, dan Sufyan, al-Anbari serta ulama lainnya. (Bahkan) Ada yang menyatakan, bahwa mereka pernah berkata: Apabila kami meriwayatkan (Hadfts) menyangkut perkara halal ataupun yang haram, maka kami akan berhati-hati. Tapi apabila kami meriwayatkan Hadfts tentang fadha’il al-a’mal, maka kami melonggarkannya”. (Majmu’ Fatawi wa Rasa’il, 251)

Akan tetapi, kebolehan ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, bukan hadits yang sangat dha’if. Karena itu, tidak boleh mengamalkan hadits yang diriwayatkan oleh orang yang sudah terkenal sebagai pendusta, fasiq, orang yang sudah terbiasa berbuat salah dan semacamnya.

Kedua, masih berada di bawah naungan ketentuan umum serta kaidah-­kaidah yang universal. Dengan kata lain, hadits tersebut tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah agama, tidak sampai menghalalkan yang haram atau mengharamkan yang halal.

Ketiga, tidak berkeyakinan bahwa perbuatan tersebut berdasarkan Hadits Dha’if, namun perbuatan itu dilaksanakan dalam rangka ihtiyath atau berhati-hati dalam masalah agama.

Dengan demikian, dapat diketahui bahwa kita tidak harus dengan keras menolak Hadits Dha’if. Karena, dalam hal-hal tertentu masih diperkenankan mengamalkannya dengan syarat-syarat sebagaimana diterangkan di atas.

(Tulisan diatas saya ambil dari catatan guru saya KH. Thobary Syadzily – Ponpes Al-Husna Tangerang – Jawa Barat)

Sedikit tambahan dari penulis,

Pernyataan al-Imam an-Nawawi rahimahullaah di atas juga diperjelas lagi oleh al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullaah di dalam kitab at-tadrib ar-Rawi jilid 1 halaman 162 disebutkan sebagai berikut:

Kitab Tadrib ar-Rawi juz 1 halaman 162



“Dan apabila engkau hendak menyampaikan suatu riwayat dhoif tanpa sanad yang kuat, hendaknya janganlah engkau mengatakan: “Telah bersabda Rasulullah shollallaah ‘alaih wa sallam” atau perkataan yang semisalnya sebagai penegasan akan hal itu (kedhoifan sanadnya), akan tetapi katakanlah: “Aku sampaikan riwayat”, atau “Telah sampai kepada kami suatu riwayat”, atau “Telah disebutkan dalam sebuah riwayat”, atau “Telah datang suatu riwayat”, atau “Kami telah menukil sebuah riwayat” atau yang serupa daripada ucapan tersebut, dan diperbolehkan oleh sebagian kalangan ahli hadits untuk tasahul (memperlonggar) di dalam hal sanad-sanad yang lemah dan meriwayatkan hadits dhoif yang bukan maudhu’ (palsu) dan mengamalkannya tanpa menjelaskan kedhoifannya, dalam hal yang tidak berkaitan dengan sifat-sifat Allah, hukum-hukum halal dan haram, dan yang tidak berkaitan dengan akidah dan hukum-hukum.” (Tadrib al-Rawi, 1/162).

Keterangan al-Imam Jalaluddin as-Suyuthi rahimahullah diatas, menunjukkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Adab di dalam membawakan hadits dho’if, yaitu hendaknya tidak menyebutkan “قال رسول الله صلى الله عليه وسلم” (artinya: Telah bersabda Rasulullaah shollallaahu ‘alaihi wa sallam), namun hendaknya mengucapkan kalimat “Aku sampaikan riwayat” dan kalimat yang semisalnya.

2. Diperbolehkannya mengamalkan hadits dho’if untuk fadha’il a’mal. Dan tidak digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sifat-sifat Allah Ta’aala, hukum-hukum halal dan haram, dan tidak berkaitan dengan aqidah.

3. Tidak diperbolehkannya mengamalkan hadits maudhu’ (palsu).




read more

Hadits Shahih Yang Di-Dhoifkan Kaum Wahhabi

Kaum Wahabi berpandangan bahwa istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat termasuk syirik akbar, murtad dan keluar dari Islam. Na’udzu billah min dzalik. Sementara kaum Muslimin sejak generasi sahabat, tabi’in dan generasi sesudahnya membolehkan istighatsah dengan Nabi Shollallahu ‘alaihi wa sallam atau orang shalih yang sudah wafat. Di antara dalil yang menganjurkan dan membolehkan istighatsah adalah hadits mauquf dari Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad. Mengingat atsar atau hadits mauquf ini tidak menyenangkan bagi kaum Wahabi, sebagian Wahabi menolak keshahihan hadits tersebut secara tidak ilmiah, dan bahkan sebagian mereka ada yang mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Imam al-Bukhari. Oleh karena itu, tulisan berikut ini akan mengkaji hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu tersebut secara ilmiah. Al-Bukhari meriwayatkan sebagai berikut:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنه أَنَّهُ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقِيْلَ لَهُ: اُذْكُرْ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ، فَقَالَ: يَا مُحَمَّدُ، فَكَأَنَّمَا نُشِطَ مِنْ عِقَالٍ

“Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar Radhiyallaahu ‘anhu, bahwa suatu ketika kaki beliau terkena mati rasa, maka salah seorang yang hadir mengatakan kepada beliau: “Sebutkanlah orang yang paling Anda cintai!” Lalu Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad”. Maka seketika itu kaki beliau sembuh.”

Hadits di atas diriwayatkan melalui lima jalur dari Abi Ishaq al-Sabi’i.

Pertama, diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh al-Bukhari (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]).
Kedua, diriwayatkan oleh Zuhair bin Muawiyah dari Abi Ishaq, dari Abdurrhman bin Sa’ad. Jalur ini diriwayatkan oleh Ali bin al-Ja’d (al-Musnad, [2539, h. 369]), Ibnu Sa’ad (al-Thabaqat, [IV/154]), Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits [II/674]), Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [172, h. 115]), Ibnu Asakir (Tarikh Madinah Dimasyq, [XXXI/177]), dan al-Mizzi (Tahdzib al-Kamal, [XVII/142]).

Ketiga, diriwayatkan oleh Israil dari Abi Ishaq dari al-Haitsam bin Hanasy. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [170, h. 115]).
Keempat, diriwayatkan oleh Abu Bakar bin ‘Ayyasy dari Abi Ishaq, dari Abi Syu’bah. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibnu al-Sunni (‘Amal al-Yaum wa al-Lailah, [168, h. 114]).
Kelima, diriwayatkan oleh Syu’bah dari Abi Ishaq, dari laki-laki yang mendengar Ibnu Umar. Jalur ini diriwayatkan oleh Ibrahim al-Harbi (Gharib al-Hadits, [h. 674]).
Derajat Hadits

Al-Bukhari meriwayatkan hadits Ibnu Umar di atas (al-Adab al-Mufrad, [964, h. 346]), dari Abu Nu’aim al-Fadhl bin Dukain, dari Sufyan al-Tsauri, dari Abu Ishaq al-Sabi’i, dari Abdurrahman bin Sa’ad al-Qurasyi al-‘Adawi. Semua perawi hadits ini tsiqah, dipercaya. Sufyan al-Tsauri mendengar hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath (berubah hafalannya). Sedangkan Abdurrahman bin Sa’ad, dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i (Taqrib al-Tahdzib, [3877]) dan Ibnu Hibban (al-Tsiqat, [4026, V/99]). Dengan demikian hadits di atas bernilai shahih tanpa keraguan. Bahkan Ibnu Taimiyah (al-Kalim al-Thayyib, [h. 173]) dan Ibnu Qayyim al-Jauziyah (al-Wabil al-Shayyib, [h. 302]) menganggap istighatsah “Ya Muhammad”, sebagai ucapan yang baik (kalimah thayyibah). Beliau juga menganjurkan agar ucapan istighatsah “Ya Muhammad” tersebut diamalkan oleh orang yang kakinya terkena mati rasa.
Bersama Kaum Wahabi
Hadits shahih di atas, merupakan dalil yang sangat tegas tentang kebolehan istighatsah. Dan tentu saja, kaum Wahabi berupaya menepis keshahihan hadits tersebut dengan berbagai alasan. Dalam upaya menolak keshahihan hadits di atas, kaum Wahabi terbagi menjadi dua aliran. Pertama, kaum awam seperti Mahrus Ali – dalam Sesat Tanpa Sadar-nya -, yang menolak hadits di atas, dengan alasan hadits tersebut diriwayatkan melalui jalur lain (bukan jalur di atas) yang sangat lemah. Tentu saja, kelompok awam ini tidak perlu dilayani. Kelompok ini karena keawamannya dalam bidang ilmu hadits, akan menolak setiap hadits shahih, yang diriwayatkan melalui jalur lain yang lemah. Kelompok awam ini tidak segan-segan mengejek kitab al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari karena telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas.

Kedua, kaum alim seperti al-Albani dan lain-lain yang berusaha merekayasa kedha’ifan hadits di atas secara “ilmiah”. Kelompok ini yang akan kita layani. Dalam mengomentari hadits di atas al-Albani berkata dalam catatan al-Kalim al-Thayyib:
ضَعِيْفٌ أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ فِي اْلأَدَبِ الْمُفْرَدِ (٩٦٤) وَابْنُ السُّنِّيُّ (١٦٨)، وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنِ سَعْدٍ هَذَا وَثَّقَهُ النَّسَائِيُّ، فَالْعِلَّةُ مِنْ أَبِيْ إِسْحَاقَ، مِنْ اخْتِلاَطِهِ وَتَدْلِيْسِهِ، وَقَدْ عَنْعَنَهُ فِيْ كُلِّ الرِّوَايَاتِ عَنْهُ

Hadits dha’if, diriwayatkan oleh al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad (964) dan Ibnu al-Sunni (168). Abdurrahman bin Saad ini dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i. Jadi illat (alasan) kedha’ifan hadits ini terletak pada Abu Ishaq, karena faktor ikhtilath (berubah hafalannya) dan tadlis (menyamarkan riwayat). Ia telah meriwayatkannya secara mu’an’an (memakai redaksi “dari”) dalam semua riwayat.” (Al-Albani, al-Kalim al-Thayyib, h. 173).

Berdasarkan pernyataan al-Albani di atas, dapat disimpulkan bahwa alasan kedhaifan hadits tersebut terletak pada perawi Abu Ishaq Amr bin Abdullah al-Sabi’i, yang 1) ikhtilath, dan2) melakukan tadlis (menyamarkan riwayat).

Alasan Ikhtilath

Sekarang kita akan mengkaji secara ilmiah, kedua faktor di atas yang menjadi alasan Wahabi dalam mendha’ifkan atsar Ibnu Umar di atas. Pertama, seputar faktor ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Pertanyaan yang perlu dikemukakan di sini adalah, benarkah mendha’ifkan atsar Ibnu Umar tersebut dengan alasan ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i? Jawabannya, tentu tidak benar karena tiga alasan:

Pertama, alasan ikhtilath hanya bisa digunakan ketika perawi dari Abu Ishaq al-Sabi’i menerima hadits di atas setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, seperti riwayatnya Zuhair bin Muawiyah, al-Haitsam bin Hanasy dan Abu Bakar bin Ayyasy yang meriwayatkan hadits dari Abu Ishaq setelah Abu Ishaq ikhtilath. Sedangkan hadits Ibnu Umar tersebut juga diriwayatkan oleh Sufyan al-Tsauri dari Abu Ishaq, sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Oleh karena itu, al-Albani hanya mengomentari riwayat hadits di atas, yang melalui jalur al-Haitsam bin Hanasy dalam al-Kalim al-Thayyib karya Ibnu Taimiyah. Al-Albani tidak memberikan komentar terhadap riwayat Sufyan al-Tsauri ketika men-ta’liq al-Adab al-Mufrad karya al-Bukhari. Dengan kecerdikannya, al-Albani hanya mengalihkan pembaca agar merujuk kepada al-Kalim al-Thayyib, yang dimungkinkan dilakukan pendha’ifan karena faktor ikhtilath­-nya Abu Ishaq. Sedangkan, riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad tidak mungkin didha’ifkan dengan dalihikhtilath. Di sini jelas sekali nilai kejujuran al-Albani dalam kajian ilmu hadits.

Kedua, seandainya kita menerima klaim al-Albani bahwa al-Haitsam bin Hanasy menerima hadits tersebut setelah Abu Ishaq mengalami ikhtilath, para ulama ahli hadits justru menolak dan tidak mempersoalkan asumsi ikhtilath-nya Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam konteks ini al-Hafizh al-Dzahabi berkata:
عَمْرٌو بْن عَبْدِ اللهِ أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ مِنْ أَئِمَّةِ التَّابِعِيْنَ بِالْكُوْفَةِ وَأَثْبَاتِهِمْ إِلاَّ أَنَّهُ شَاخَ وَنَسِيَ وَلَمْ يَخْتَلِطْ

Amr bin Abdullah Abu Ishaq al-Sabi’i, termasuk imam kaum tabi’in di Kufah dan kuat hapalannya, hanya saja ia mengalami masa tua, lupa dan tidak pernah ikhtilath. (Al-Dzahabi, [Mizan al-I’tidal, III/270]).

Pernyataan al-Dzahabi di atas telah menepis adanya dugaan ikhtilath terhadap Abu Ishaq.

Al-Hafizh al-Dzahabi juga memasukkan Abu Ishaq dalam kategori para perawi tsiqah yang dipersoalkan, tetapi haditsnya tidak dapat ditolak (harus diterima). Dalam hal ini al-Dzahabi berkata dalam kitabnya, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum sebagai berikut:
أَبُوْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيُّ ثِقَةٌ إِمَامٌ لَكِنَّهُ كَبُرَ وَسَاءَ حِفْظُهُ وَمَا اخْتَلَطَ.

Abu Ishaq al-Sabi’i, perawi tsiqah dan imam, akan tetapi ia mengalami masa tua, hapalannya buruk dan hafalannya tidak berubah (ikhtilath). (Al-Hafizh al-Dzahabi, al-Ruwat al-Tsiqat al-Mutakallam fihim bima la Yujibu Raddahum, [h. 203]).

Seandainya klaim ikhtilath-nya Abu Ishaq kita terima, para ulama memasukkan ikhtilath-nya Abu Ishaq dalam kategori kelompok pertama, yaitu ikhtilath yang tidak menimbulkan kedha’ifan dalam riwayat dan tidak menurunkan martabat perawi, adakalanya karena masa ikhtilath-nya yang sebentar dan sedikit, dan adakalanya karena ia tidak meriwayatkan hadits ketika mengalami ikhtilath, sehingga haditsnya selamat dari kekeliruan. Dalam konteks ini al-Hafizh Shalahuddin al-‘Ala’i berkata:
وَلَمْ يَعْتَبِرْ أَحَدٌ مِنَ اْلأَئِمَّةِ مَا ذُكِرَ مِنِ اخْتِلاَطِ أَبِيْ إِسْحَاقَ، اِحْتَجُّوْا بِهِ مُطْلَقًا، وَذَلِكَ يَدُلُّ عَلَى أَنَّهُ لَمْ يَخْتَلِطْ فِيْ شَيْءٍ مِنْ حَدِيْثِهِ فَهُوَ أَيْضًا مِنَ الْقِسْمِ اْلأَوَّلِ

Tidak seorang pun dari para imam yang mempersoalkan apa yang disebutkan tentang ikhtilath-nya Abu Ishaq. Bahkan mereka berhujjah dengan Abu Ishaq secara mutlak. Hal ini menunjukkan bahwa ia tidak pernah ikhtilath dalam haditsnya. Ia juga termasuk dalam bagian bertama. (Al-Hafizh al-‘Ala’i, [al-Mukhtalithin, h. 94]).

Berdasarpan paparan di atas, dapatlah disimpulkan, bahwa penolakan kaum Wahabi seperti al-Albani terhadap riwayat Abu Ishaq karena alasan ikhtilath, tidak dapat diterima, karena para imam tidak mempersoalkan ikhtilath yang dinisbatkan terhadap Abu Ishaq al-Sabi’i. Disamping itu Sufyan al-Tsauri meriwayatkan hadits tersebut dari Abu Ishaq sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath.
Alasan Tadlis

Setelah kita mengkaji faktor ikhtilath yang ada pada Abu Ishaq, sekarang kita mengkaji penolakan kaum Wahabi terhadap riwayat Abu Ishaq dengan alasan kedua, yaitu faktor tadlis.

Secara kebahasaan, tadlis artinya menyamarkan. Sedangkan mudallis adalah perawi yang melakukantadlis. Dalam ilmu mushthalah al-hadits, tadlis terbagi menjadi dua. Pertama) penyamaran sanad atautadlis isnad, yaitu seorang perawi meriwayatkan hadits dari orang yang semasa, dengan mengesankan bahwa ia mendengar langsung hadits tersebut darinya, padahal ia tidak mendengarnya secara langsung, seperti dengan berkata “fulan berkata”, “dari fulan”, dan sesamanya.

Kedua, penyamaran guru atau tadlis syuyukh, yaitu menyebut gurunya dengan nama, kunyah, nisbat atau sifat yang tidak dikenal oleh orang lain.

Yang menjadi persoalan terkait dengan Abu Ishaq al-Sabi’i di sini adalah tadlis bagian pertama, yaitutadlis isnad. Dalam ilmu mushthalah al-hadits diterangkan, perawi yang dikenal melakukan tadlis, apabila dalam periwayatannya tidak menjelaskan bahwa ia telah mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal. Apabila ia menjelaskan bahwa ia mendengar secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya diterima dan dijadikan hujjah. Dalam konteks ini, Abu Ishaq termasuk perawi mudallis (melakukan penyamaran sanad). Selama ia tidak menjelaskan bahwa riwayatnya ia terima secara langsung dari guru yang disebutkannya, maka riwayatnya dianggap mursal dan lemah.

Pertanyaannya di sini adalah, setelah Abu Ishaq terbukti sebagai perawi yang mudallis, lalu dalam hadits tersebut ia meriwayatkan secara mu’an’an, maka dapatkah hadits di atas dinilai dha’if? Jawabannya, hadits tersebut tidak bisa dinilai dha’if, karena kelemahan riwayat Abu Ishaq sebab faktor mu’an’an di atas telah diselamatkan oleh riwayat Syu’bah darinya. Dalam konteks ini al-Imam Syu’bah berkata:
عَنِ النَّضْرِ بْنِ شُمَيْلٍ قَالَ: سَمِعْتُ شُعْبَةَ يَقُوْلُ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، اْلأَعْمشِ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ وَقَتَادَةَ
(الحافظ محمد بن طاهر المقدسي، مسألة التسمية ص/٤٧، والحافظ ابن حجر، النكت على مقدمة ابن الصلاح ص/٦٣٠)

Al-Nadhar bin Syumail berkata: “Aku mendengar Syu’bah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlis-nya tiga orang, al-A’masy, Abu Ishaq dan Qatadah.” (Al-Hafizh Ibnu Thahir, [Mas’alah al-Tasmiyah, 47], dan Ibnu Hajar [al-Nukat ‘ala Ibn al-Shalah, 630]).

Ulama Wahabi kontemporer, Mushthafa al-‘Adawi berkata:
مَا حُكْمُ عَنْعَنَةِ اْلأَعْمَشِ وَقَتَادَةَ وَأَبِيْ إِسْحَاقَ السَّبِيْعِيِّ؟ ج: يَلْزَمُ أَنْ يُصَرّحَ كُلٌّ مِنْهُمْ بِالتَّحْدِيْثِ فَإِنَّهُمْ مُدَلِّسُوْنَ، لَكِنْ إِذَا رَوَى عَنْهُمْ شُعْبَةُ فَلاَ تَضُرُّ عَنْعَنَتُهُم، فَإِنَّهُ قَالَ: كَفَيْتُكُمْ تَدْلِيْسَ ثَلاَثَةٍ، ثُمَّ ذَكَرَهُمْ وَقَدْ قَالَ الْحَافِظُ ابْنُ حَجَرٍ فِيْ عِدَّةِ مَوَاضِعَ مِنْ فَتْحِ الْبَارِيْ: إِنَّ رِوَايَةَ شُعْبَةَ عَنْ أَيِّ مُدَلِّسٍ تَجْبُرُ عَنْعَنَةَ ذَلِكَ الْمُدَلِّسِ هَذَا مَضْمُوْنُ كَلاَمِهِ

Soal: Bagaimana hukum ‘an’anah-nya al-A’masy, Qatadah dan Abi Ishaq al-Sabi’i? Jawab: Mereka harus menjelaskan secara tahdits (menerima langsung dari gurunya) karena mereka perawi mudallis. Akan tetapi apabila Imam Syu’bah meriwayatkan dari mereka, maka ‘an’anah mereka tidak berba-haya. Karena Syu’bah telah berkata: “Aku cukupkan kalian dari tadlisnya tiga orang.” Kemudian menyebut ketiganya. Al-Hafizh Ibnu Hajar telah menyebutkan di beberapa tempat dalam Fath al-Bari, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari perawi mudallis, dapat mengangkis ‘an’anah-nya mudallis tersebut. Ini kesimpulan ucapan beliau. (Mushthafa al-‘Adawi, [Syarh ‘Ilal al-Hadits, h. 56]).

Paparan di atas menyimpulkan, bahwa riwayat Imam Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i yang dikenal mudallis dapat menyelamatkan riwayatnya dari kelemahan karena faktor tadlis. Sementara Ibrahim al-Harbi telah meriwayatkan hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Syu’bah dari Abu Ishaq al-Sabi’i. Dalam Gharib al-Hadits, al-Harbi berkata:
١) حَدَّثنَا عَفَّانُ حَدَّثنَا شُعْبَةُ عَنْ أَبى إٍسْحِاقَ عَمَّنْ سمِعَ ابن عُمَرَ قَالَ خَدِرَتْ رِجْلُهُ فَقَيِلَ : اذْكُرَ أَحَبَّ النَّاسٍ . قَالَ : يَا مُحَمَّدُ. ۲) حَدَّثنَا أَحْمَدُ بنُ يُونُسَ حَدَّثنَا زُهِيْرٌ عَنْ أَبِى إِسْحَاقَ عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بنِ سَعْدٍ : جِئْتُ ابنُ عُمَرَ فَخَدِرَتْ رِجْلُهُ . فَقُلْتُ : مَالِرِجْلِكَ ؟ قَالَ : اجْتَمَعَ عَصَبُهَا قُلْتُ : ادْعُ أَحَبَّ النَّاسِ إِلَيْكَ قَالَ : يَا مُحَمَّدُ فَبَسَطَهَا.

1) Telah bercerita kepada kami Affan, telah bercerita kepada kami Syu’bah, dari Abi Ishaq, dari seseorang yang mendengar Ibnu Umar. Orang tersebut berkata: “Kaki Ibnu Umar terkena mati rasa.” Lalu dikatakan kepadanya, “Sebutkan orang yang paling kamu cintai.” Ibnu Umar berkata: “Ya Muhammad.” 2) Telah bercerita kepada kami Ahmad bin Yunus, telah bercerita kepada kami Zuhair, dari Abi Ishaq, dari Abdurrahman bin Sa’ad: “Aku mendatangi Ibnu Umar, lalu kakinya terkena mati rasa. Aku berkata: “Ada apa dengan kakimu?” Ia menjawab: “Ototnya berkumpul.” Aku berkata: “Panggil orang yang paling kamu cintai.” Ia berkata: “Ya Muhammad.” Ia pun bisa membentangkan kakinya.” (Al-Imam al-Harbi, [Gharib al-Hadits, h. 673-674]).

Dalam riwayat di atas, Ibrahim al-Harbi meriwayatkan hadits Ibnu Umar, melalui dua jalur, salah satunya melalui jalur Imam Syu’bah. Dengan demikian, hadits Ibnu Umar di atas diselamatkan dari kelemahan dengan alasan tadlis-nya Abu Ishaq. Hadits tersebut harus dikatakan shahih sesuai dengan kaedah ilmu hadits yang berlaku.

Di sini ada dua hal yang perlu dijelaskan. Pertama, mungkin kaum Wahabi akan menggugat, bahwa dalam riwayat Syu’bah di atas, terdapat perawi mubham (tidak jelas namanya), sehingga hadits ini tidak bisa dinilai shahih. Gugatan tersebut dapat dijawab, bahwa perawi mubham dalam riwayat Syu’bah di atas telah dijelaskan dalam riwayat lain, yaitu riwayat al-Harbi sendiri dalam Gharib al-Haditsmelalui jalur Zuhair, dan riwayat al-Bukhari dalam al-Adab al-Mufrad melalui Sufyan al-Tsauri, bahwa perawi mubham tersebut adalah Abdurrahman bin Sa’ad, perawi yang dinilai tsiqah oleh al-Nasa’i dan Ibnu Hibban. Para ulama menjelaskan kesamaran seorang perawi dapat diketahui dari jalur lain yang menjelaskan namanya. (Al-Hafizh al-Suyuthi, [Tadrib al-Rawi, h. 468]). Oleh karena itu, setelah menceritakan riwayat Syu’bah, Ibrahim al-Harbi menceritakan riwayat Zuhair untuk menjelaskan nama perawi mubham dalam riwayat Syu’bah, yaitu Abdurrahman bin Sa’ad.

Kedua, mungkin kaum Wahabi ada yang menggugat, bahwa Zuhair meriwayatkan hadits tersebut dari Abi Ishaq setelah Abi Ishaq mengalami ikhtilath. Gugatan ini dapat dijawab, bahwa riwayat Zuhair telah sesuai dan dikuatkan dengan riwayat Sufyan al-Tsauri yang meriwayatkan hadits tersebut sebelum Abu Ishaq mengalami ikhtilath. Dengan demikian, periwayatan Zuhair dari Abi Ishaq setelahikhtilath dapat diselamatkan dari kelemahan.

Berdasarkan paparan di atas, kiranya di sini dapat disimpulkan bahwa semua argumen kaum Wahabi yang berupaya melemahkan hadits Ibnu Umar RA di atas tidak proporsional dan menemukan kegagalan. Hadits Ibnu Umar Radhiyallahu ‘anhu di atas adalah hadits shahih tanpa keraguan berdasarkan kaedah ilmu hadits yang diterapkan oleh para ulama ahli hadits. Wallahu a’lam.



read more

Apakah Allah berada di Langit?

Pada tahun 2009, saya pernah terlibat perdebatan sengit dengan seorang Ustadz Salafi berinisial AH di Surabaya. Beberapa bulan berikutnya saya berdebat lagi dengan Ustadz Salafi di Blitar. Ustadz tersebut berinisial AH pula, tetapi lain orang. Dalam perdebatan tersebut saya bertanya kepada AH: “Mengapa Anda meyakini bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit?”

Menanggapi pertanyaan saya, AH menyebutkan ayat-ayat al-Qur’an yang menurut asumsinya menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit. Lalu saya berkata: “Ayat-ayat yang Anda sebutkan tidak secara tegas menunjukkan bahwa Allah ada di langit. Karena kosa kata istawa, menurut para ulama memiliki 15 makna. Di samping itu, apabila Anda berargumentasi dengan ayat-ayat tersebut, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan ayat-ayat lain yang menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit. Misalnya Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman: “Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.” (QS. al-Hadid : 4). Ayat ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bersama kita di bumi, bukan ada di langit. Dalam ayat lain Allah subhanahu wa ta‘ala berfirman:
وَقالَ إِنِّيْ ذَاهِبٌ إِلَى رَبِّيْ سَيَهْدِيْنِ
الصافات : ٩٩

“Dan Ibrahim berkata, “Sesungguhnya aku pergi menuju Tuhanku (Palestina), yang akan memberiku petunjuk.” (QS. al-Shaffat : 99).

Dalam ayat ini, Nabi Ibrahim alaihissalam berkata akan pergi menuju Tuhannya, padahal Nabi Ibrahim alaihissalam pergi ke Palestina. Dengan demikian, secara literal ayat ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala bukan ada di langit, tetapi ada di Palestina.” Setelah saya berkata demikian, AH tidak mampu menjawab akan tetapi mengajukan dalil lain dan berkata: “Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit telah dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits shahih:
قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم لِلْجَارِيَةِ السَّوْدَاءِ: أَيْنَ اللهُ؟ قَالَتْ: فِي السَّمَاءِ. قَالَ مَنْ أَنَا؟ قَالَتْ: رَسُوْلُ اللهِ. قَالَ أَعْتِقْهَا فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ. رواه مسلم.

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada seorang budak perempuan yang berkulit hitam: “Allah ada di mana?” Lalu budak itu menjawab: “Allah ada di langit.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya; “Saya siapa?” Ia menjawab: “Engkau Rasul Allah.” Lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepada majikan budak itu, “Merdekakanlah budak ini. Karena ia seorang budak yang mukmin.” (HR. Muslim).”

Setelah AH berkata demikian, saya menjawab begini: “Ada tiga tinjauan berkaitan dengan hadits yang Anda sebutkan. Pertama, dari aspek kritisisme ilmu hadits (naqd al-hadits). Hadits yang Anda sebutkan menurut para ulama tergolong hadits mudhtharib (hadits yang simpang siur periwayatannya), sehingga kedudukannya menjadi lemah dan tidak dapat dijadikan hujjah. Kesimpangsiuran periwayatan hadits tersebut, dapat dilihat dari perbedaan setiap perawi dalam meriwayatkan hadits tersebut. Ada yang meriwayatkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak bertanya di mana Allah subhanahu wa ta‘ala. Akan tetapi Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, apakah kamu bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah.

Kedua, dari segi makna, para ulama melakukan ta’wil terhadap hadits tersebut dengan mengatakan, bahwa yang ditanyakan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebenarnya adalah bukan tempat, tetapi kedudukan atau derajat Allah subhanahu wa ta‘ala. Lalu orang tersebut menjawab kedudukan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maksudnya Allah subhanahu wa ta‘ala itu Maha Luhur dan Maha Tinggi.

Ketiga, apabila Anda berargumen dengan hadits tersebut tentang keyakinan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di langit, maka argumen Anda dapat dipatahkan dengan hadits lain yang lebih kuat dan menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak ada di langit, bahkan ada di bumi. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَحَكَّهَا بِيَدِهِ وَرُؤِيَ مِنْهُ كَرَاهِيَةٌ وَقَالَ: إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِيْ صَلاَتهِ فَإِنَّمَا يُنَاجِيْ رَبَّهُ أَوْ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ قِبْلَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ فِيْ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ.

“Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu berkata, “Bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melihat dahak di arah kiblat, lalu beliau menggosoknya dengan tangannya, dan beliau kelihatannya tidak menyukai hal itu. Lalu beliau bersabda: “Sesungguhnya apabila salah seorang kalian berdiri dalam shalat, maka ia sesungguhnya berbincang-bincang dengan Tuhannya, atau Tuhannya ada di antara dirinya dan kiblatnya. Oleh karena itu, janganlah ia meludah ke arah kiblatnya, akan tetapi meludahlah ke arah kiri atau di bawah telapak kakinya.” (HR. al-Bukhari [405]).

Hadits ini menegaskan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada di depan orang yang sedang shalat, bukan ada di langit. Hadits ini jelas lebih kuat dari hadits riwayat Muslim, karena hadits ini riwayat al-Bukhari. Setelah saya menjawab demikian, AH juga tidak mampu menanggapi jawaban saya. Sepertinya dia merasa kewalahan dan tidak mampu menjawab. Ia justru mengajukan dalil lain dengan berkata: “Keyakinan bahwa Allah ada di langit itu ijma’ ulama salaf.” Lalu saya jawab, “Tadi Anda mengatakan bahwa dalil keyakinan Allah ada di langit, adalah ayat al-Qur’an. Kemudian setelah argumen Anda kami patahkan, Anda beragumen dengan hadits. Lalu setelah argumen Anda kami patahkan lagi, Anda sekarang berdalil dengan ijma’. Padahal ijma’ ulama salaf sejak generasi sahabat justru meyakini Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Al-Imam Abu Manshur al-Baghdadi berkata dalam al-Farqu Bayna al-Firaq:
وَأَجْمَعُوْا عَلَى أَنَّهُ لاَ يَحْوِيْهِ مَكَانٌ وَلاَ يَجْرِيْ عَلَيْهِ زَمَان

“Kaum Muslimin sejak generasi salaf (para sahabat dan tabi’in) telah bersepakat bahwa Allah tidak bertempat dan tidak dilalui oleh waktu.” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Al-Imam Abu Ja’far al-Thahawi juga berkata dalam al-’Aqidah al-Thahawiyyah, risalah kecil yang menjadi kajian kaum Sunni dan Wahhabi:
وَلاَ تَحْوِيْهِ الْجِهَاتُ السِتُّ

“Allah subhanahu wa ta‘ala tidak dibatasi oleh arah yang enam.”

Setelah saya menjawab demikian kepada AH, saya bertanya kepada AH: “Menurut Anda, tempat itu makhluk apa bukan?” AH menjawab: “Makhluk.” Saya bertanya: “Kalau tempat itu makhluk, lalu sebelum terciptanya tempat, Allah ada di mana?” AH menjawab: “Pertanyaan ini tidak boleh, dan termasuk pertanyaan yang bid’ah.” Demikian jawaban AH, yang menimbulkan tawa para hadirin dari semua kalangan pada waktu itu. Kebetulan pada acara tersebut, mayoritas hadirin terdiri dari kalangan Salafi, anggota jamaah AH.

Demikianlah, cara dialog orang-orang Wahhabi. Ketika mereka tidak dapat menjawab pertanyaan, mereka tidak akan menjawab, aku tidak tahu, sebagaimana tradisi ulama salaf dulu. Akan tetapi mereka akan menjawab, “Pertanyaanmu bid’ah dan tidak boleh.” AH sepertinya tidak mengetahui bahwa pertanyaan Allah subhanahu wa ta‘ala ada di mana sebelum terciptanyan alam, telah ditanyakan oleh para sahabat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berkata kepada mereka, bahwa pertanyaan tersebut bid’ah atau tidak boleh. Al-Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam Shahih-nya:
عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ قَالَ إِنِّيْ عِنْدَ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم إِذْ دَخَلَ نَاسٌ مِنْ أَهْلِ الْيَمَنِ فَقَالُوْا: جِئْنَاكَ لِنَتَفَقَّهَ فِي الدِّيْنِ وَلِنَسْأَلَكَ عَنْ أَوَّلِ هَذَا اْلأَمْرِ مَا كَانَ. قَالَ: كَانَ اللهُ وَلَمْ يَكُنْ شَيْءٌ غَيْرُهُ
رواه البخاري

“Imran bin Hushain radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berada bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tiba-tiba datang sekelompok dari penduduk Yaman dan berkata: “Kami datang untuk belajar agama dan menanyakan tentang permulaan yang ada ini, bagaimana sesungguhnya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah telah ada dan tidak ada sesuatu apapun selain Allah.” (HR. al-Bukhari [3191]).

Hadits ini menunjukkan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala tidak bertempat. Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya makhluk, termasuk tempat. Al-Imam al-Tirmidzi meriwayatkan dengan sanad yang hasan dalam al-Sunan berikut ini:
عَنْ أَبِيْ رَزِيْنٍ قَالَ قُلْتُ : يَا رَسُوْلَ اللهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ؟ قَالَ كَانَ فِيْ عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ وَخَلَقَ عَرْشَهُ عَلىَ الْمَاءِ قَالَ أَحْمَدُ بْنُ مَنِيْعٍ قَالَ يَزِيْدُ بْنُ هَارُوْنَ الْعَمَاءُ أَيْ لَيْسَ مَعَهُ شَيْءٌ قَالَ التِّرْمِذِيُّ وَهَذَا حَدِيْثٌ حَسَنٌ.

“Abi Razin radhiyallahu ‘anhu berkata: “Aku berkata, wahai Rasulullah, di manakah Tuhan kita sebelum menciptakan makhluk-Nya?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertainya. Di atasnya tidak ada sesuatu dan di bawahnya tidak ada sesuatu. Lalu Allah menciptakan Arasy di atas air.” Ahmad bin Mani’ berkata, bahwa Yazid bin Harun berkata, maksud hadits tersebut, Allah ada tanpa sesuatu apapun yang menyertai (termasuk tempat). Al-Tirmidzi berkata: “hadits ini bernilai hasan”. (Sunan al-Tirmidzi, [3109]).

Dalam setiap dialog yang terjadi antara Muslim Sunni dengan kaum Wahhabi, pasti kaum Sunni mudah sekali mematahkan argumen Wahhabi. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dari ayat al-Qur’an, maka dengan mudahnya dipatahkan dengan ayat al-Qur’an yang lain. Ketika Wahhabi mengajukan argumen dengan hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, pasti kaum Sunni dengan mudahnya mematahkan argumen tersebut dengan hadits yang lebih kuat. Dan ketika Sunni berargumen dengan dalil rasional, pasti Wahhabi tidak dapat membantah dan menjawabnya. Keyakinan bahwa Allah subhanahu wa ta‘ala ada tanpa tempat adalah keyakinan kaum Muslimin sejak generasi salaf, kalangan sahabat dan tabi’in. Sayyidina Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu berkata:
كَانَ اللهُ وَلاَ مَكَانَ وَهُوَ اْلآَنَ عَلَى مَا عَلَيْهِ كَانَ

“Allah subhanahu wa ta‘ala ada sebelum adanya tempat. Dan keberadaan Allah sekarang, sama seperti sebelum adanya tempat (maksudnya Allah tidak bertempat).” (al-Farq bayna al-Firaq, 256).

Dikutip dari “Buku Pintar Berdebat dengan Wahhabi” karya Ust. Muhammad Idrus Ramli, alumni Pondok Pesantren Sidogiri tahun 1424/2004.


read more

Taqlid dan Ijtihad

Perlu diketahui bahwa orang-orang yang menjalankan syari’at Islam dengan bermadzhabkan as-Syafi’i, Hanafi, Maliki, Hanbali dan lain-lain bukanlah orang yang fanatik madzhab, karena orang yang bermadzhab Syafi’i juga menaruh hormat terhadap orang yang mengikuti madzhab lain seperti yang banyak ditulis dalam kitab-kitab ulama mereka. Mereka juga tahu bahwa para imam-imam mujtahid adalah orang yang mendapat petunjuk dari Allah.[1] Andai pernah terjadi perseteruan yang menjurus pertengkaran, maka hal itu bukan berarti menunjukkan bahwa madzhabnya yang bathil. Seperti apabila ada orang Islam mencuri, apakah lalu kita mengatakan bahwa ternyata Islam mengajarkan mencuri. Tidak bukan?! Sayyidina Ali mengatakan, “Ketahuilah kebenaran, maka kamu akan tahu siapa orang yang benar”. Keterangan perlu disampaikan, karena hanya menceritakan bahwa ada kota yang hancur gara-gara terjadi perseteruan antara Syafi’iyyah dan Hanafiyyah yang katanya diceritakan Yaqut al-Hamawi dalam Mu’jam al-Buldan. Lebih arif apabila disampaikan pula juz dan halaman kitab tersebut?!

Dikatakan bahwa taqlid kepada ulama adalah terlarang dengan berpijak pada larangan yang disampaikan oleh Imam-imam madzhab empat yaitu Abu Hanifah, as-Syafi’i, Malik dan Ahmad. Keempat Imam madzhab tersebut memang pernah melarang bertaqlid kepada mereka. Menurut saya Ustadz Yusuf tidak banyak membaca sejarah dan sudah terlalu fanatik dengan kebenaran pendapatnya sendiri sehingga menutup telinga terhadap komentar ulama-ulama madzhab yang menanggapi pelarangan tersebut.

Orang yang anti madzhab banyak mengkritik orang-orang yang bertaqlid dan menuduh madzhab Abu Hanifah, madzhab Syafi’i dan lain-lain adalah sama dengan ta’addud as-syari’ah (penggandaan syari’at).[2] Namun yang lucu dan aneh, justru mereka sering menuqil pendapat-pendapat ulama yang bertaqlid seperti: Izziddin bin Abdis Salam, Ibnu Shalah, al-Bulqini, as-Subki, Ibnu Daqiq al-Id, al-Iraqi, Qadli Husain, Ibnu Hajar al-Haitami, al-Hafizh Ibnu Hajar al-Asqalâni, ad-Dzahabi, an-Nasa’i, as-Suyuthi, al-Khatib al-Baghdadi, an-Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim, al-Bukhari dan lain-lain. Sementara mereka berkeyakinan bahwa mereka adalah orang yang salah karena bertaqlid dan menghalalkannya. Lalu lebih alim mana antara mereka yang anti madzhab dibandingkan dengan ulama-ulama di atas yang mau bertaqlid dan melegalkannya???. Pertanyaan ini tidak butuh dijawab tetapi difikirkan dan direnungkan dengan fikiran jernih serta jauh dari syahwat dan sikap fanatik.

Kewajiban taqlid bukan berdasar maqalah, akan tetapi kewajiban bertaqlid bagi orang yang belum sampai derajat mujtahid adalah berdasarkan pada:

1. Dalil Naqli Al Qur’an QS: An-Nahl:43

“Bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”

Dan sudah menjadi ijma’ (konsensus) ulama bahwa ayat tersebut memerintahkan bagi orang yang tidak mengetahui hukum dan dalilnya untuk ittiba’ (mengikuti) orang yang tahu. Dan mayoritas ulama ushul fiqh berpendapat bahwa ayat tersebut adalah dalil pokok pertama tentang kewajiban orang awam (orang yang belum mempunyai kapasitas istinbat) untuk mengikuti orang alim yang mujtahid.

2. Ijma’

Sudah menjadi kesepakatan dan tanpa ada khilaf, bahwa shahabat-shahabat Rasullalah berbeda-beda taraf tingkatan keilmuannya, dan tidak semuanya ahli fatwa (mujtahid) seperti yang disampaikan oleh Ibnu Khaldun. Dan sudah nyata bahwa agama diambil dari semua sahabat, tetapi mereka ada yang punya kapasitas ijtihad dan itu relatif sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah semua sahabat, serta diantaranya juga ada mustafti ataumuqallid (sahabat yang tidak mempunyai kapasitas ijtihad atau istinbath) dan shahabat yang termasuk golongan ini berjumlah sangat banyak.

Setiap shahabat yang ahli ijtihad seperti Abu Bakar, Umar, Ustman, Ali, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin Abbas, Abdullah bin Umar dan lain-lain saat memberi fatwa pasti menyampaikan dalil fatwanya.

3. Dalil Aqli

Orang yang bukan ahli ijtihad apabila menemui suatu masalah fiqhiyyah, pilihannya hanya ada dua, yaitu antara berfikir dan berijtihad sendiri sembari mencari dalil yang dapat menjawabnya atau bertaqlid mengikuti pendapat mujtahid. Jika memilih yang awal, maka itu sangat tidak mungkin karena dia harus menggunakan semua waktunya untuk mencari, berfikir dan berijtihad dengan dalil yang ada untuk menjawab masalahnya, dan mempelajari perangkat-perangkat ijtihad yang akan memakan waktu lama, sehingga pekerjaan dan profesi ma’isyah pastinya akan terbengkelai. Klimaksnya dunia ini akan rusak. Maka tidak salah kalau al-Buthi memberi judul terhadap salah satu kitabnya dengan “Tidak bermadzhab adalah bid’ah yang paling bahaya yang dapat menghancurkan agama“. Dan pilihan terakhirlah yang harus ditempuh, yaitu taqlid.[3]

Kesimpulannya dalam hal taqlid ini adalah:
Wajib bagi orang yang tidak mampu istinbath dari Al Qur’an dan hadits.
Haram bagi orang yang mampu dan syaratnya tentu sangat ketat, sehingga mulai sekitar tahun 300 hijriyyah sudah tidak ada ulama yang memenuhi kriteria atau syarat mujtahid. Mereka adalah Abu Hanifah, Malik, As-Suyuti, Ahmad bin Hanbal, Sufyan al-Tsauri, Dawud ad-Dhahiri dan lain-lain.

Lalu menjawab perkataan empat imam madzhab yang melarang orang lain bertaqlid kepada mereka adalah sebagaimana yang diterangkan oleh ulama-ulama bahwa khitab larangan tersebut ditujukan kepada orang-orang yang mampu berijtihad dari Al Quran dan al-Hadits, dan bukan bagi yang tidak mampu, karena bagi mereka wajib bertaqlid agar tidak tersesat dalam menjalankan agama.[4]

Begitu juga menjawab Ibnu Hazm dalam Ihkam al-ahkam yang mengharamkan taqlid, karena haram yang dimaksud adalah untuk orang yang ahli ijtihad sebagaimana disampaikan oleh al-Buthi ketika menjawab musykil dalam kitab Hujjah Allah al-Bâlighah [1/157-155] karya Waliyullah ad-Dihlawi yang mengutip pendapat Ibnu Hazm tentang keharaman taqlid.[5]

Lebih jelasnya lihat kitab al-Lamadzhabiyyah, sebuah karya apik yang menolak kebathilan orang-orang yang anti madzhab dengan argumen-argumen yang kuat. Termasuk di dalamnya terdapat catatan perdebatan yang terjadi antara Nashiruddin al-Albani dengan Dr. Said Ramadlan al-Buthi.

Jika ada orang saat ini yang mengaku mampu berijtihad sendiri, maka katakanlah, “Ijtihad kalian tidak lebih benar dari ijtihad para imam-imam mujtahid”. Jika mereka mengaku bertaqlid, maka katakan kepada mereka, “Taqlidmu sia-sia dan gugur tak berarti, karena Ibnu Taymiyyah mengakui taqlid”. Karena kebanyakan mereka mengikuti Ibnu Taymiyyah.

[1] Lihat pembelaan terhadap Imam-Imam Madzhab oleh as-Sya’rani dalam al-Yawaqit wa al-Jawahir

[2] Lihat Silsilah Ahadits Ad-Dha’ifah ketika membahas hadits Ikhtilaf Ummah.

[3] Lihat Allamadhabiyah H.70-73, Takhrîj Ahâdits al-Luma’ H.348

[4] Al-Mizan al-Kubra 1/62

[5] Allamadzhabiyyah hal 133 dan Iqdul Jiid fi ahkam al-Ijtihad wa at-Taqlid hal 22.



read more

Pentingnya Belajar Ilmu Agama Secara Talaqqi

Talaqqi artinya belajar ilmu agama secara langsung kepada guru yang mempunyai kompetensi ilmu, tsiqah, dhabit dan mempunyai sanad keilmuan yang muttashil sampai ke Rasulullah Shallaahu ‘Alaihi Wa Sallam melalui para ‘Ulama ‘Aalimin ‘Aarifin.

Apa manfaat aktif di talaqqy?

1. Memiliki sanad keilmuan yang jelas

Kata Ibnul Mubarak:”Sanad merupakan bagian dari agama, kalaulah bukan karena sanad, maka pasti akan bisa berkata siapa saja yang mau dengan apa saja yang diinginkannya.”Dikatakan juga: “permisalan orang yang ingin mengetahui perkara agamanya tanpa sanad, seperti orang yang menaiki suthuh (bagian atas) sebuah rumah tanpa tangga”

2. Mendapat ilmu dari lisan para ulama yang mumpuni di bidangnya

Syarat seseorang sukses dalam menuntut ilmu oleh para ulama disebutkan:
Berbekal potensi akal untuk diisi dengan ilmu.
Ada guru yang akan membantu membuka jalan dalam belajar.
Didukung oleh kitab-kitab yang sahih.
Memiliki kesungguhan dan kontinuitas dalam belajar.

Apabila ada komponen ini yang tidak dipenuhi, maka akan ada ketimpangan dalam belajar dan dikhawatirkan menuai kegagalan dalam belajar agama.

Sebuah pesan arab menyebutkan: ambillah ilmu dari lisan para rijal, karena mereka menghafal hal-hal terbaik yang mereka dengar. Lalu mereka sampaikan hal-hal terbaik dari apa yang mereka hafal.

Dengan demikian seorang santri akan denagn mudah dan dalam waktu pendek mendapati kucni-kunci dan filosofi ilmu.

Di dalam nasehat lain disebutkan bahwa salah satu syarat untuk sukses dalam belajar adalah:irsyaadu ustaadzin atau suhbatu ustaadzin (ada arahan dan ayoman dari seorang guru).

3. Tidak salah dalam memahami ilmu

Di dalam sebuah syair dijelaskan: Orang-orang yang mengambil ilmu dari gurunya secara lisan, akan terhindar dari kesesatan dan penyelewengan. Dan orang-orang yang mengambil ilmu dari lembaran-lembaran kertas, ilmunya di kalangan ahli ilmu dianggap tiada!

Di syair lain dijelaskan:

Apakah engkau mengaku sebagai seorang berilmu, sementara engkau tidak membaca kitab dengan seorang syaikh yang akan menghilangkan keresahanmu? Apakah engkau mengira, bahwa otakmu akan menjelaskan hal-hal yang musykil? Tanpa ada guru yang memberitahukannya? Demi Allah otak benar-benar telah membohongi! Dan mencari ilmu tanpa guru, sama halnya dengan orang yang menghidupkan lentera tanpa memiliki minyaknya.

Ilmu agama tidak bisa dipelajari secara otodidak, karena banyak hal dalam agama yang tidak bisa dicapai oleh logika manusia, butuh keimanan. Selain itu, banyak hal dalam agama yang mesti dicontohkan pelaksanaannya, tidak bisa diandai-andaikan atau dibuat-buat. Karena agama Islam bersumber dari wahyu langit, yang diwariskan secara turun temurun dari Rasul Shollallaah ‘alaih wa sallam. kepada sahabat, dari sahabat kepada tabi`in, dari tabi`inkepada tabi` tabi`in, dari tabi` tabi`in kepada ulama salaf, dari ulama salaf dilanjutkan kepada ulama khalaf, yang seterusnya dilanjutkan kepada kita secara bersambungan. Ilmu agama bukan dari logika manusia, kesepakatan manusia, sebuah penelitian atau apapun bentuknya. Ijtihad yang dilakukan manusia pun butuh kepada dalil. Dalil naqly juga butuh kepada kesahihan dalil, yang juga butuh kepada sanad yang berkesinambungan (ittishal sanad)

4. Belajar adab

Di dalam majlis ilmu kita diajarkan dan dicontohkan oleh seorang `alim rabbani tentang adab sebagai seorang hamba Allah yang mesti beribadah kepada Allah, diantara ibadah itu adalah berakhlaq baik kepada semua yang ada di alam raya. Seorang ulama bahkan memesankan kepada anaknya: lihatlah adab si fulan sebelum engkau belajar ilmu darinya!”

Apa yang dicari dengan aktif di talaqqy?
Mensyukuri nikmat sehat, nikmat waktu, dan nikmat muda.
Berupaya mengikuti sirah yang telah ditorehkan oleh para “rijal”. Kalau pun tidak bisa seperti mereka, bisa meniru mereka adalah sebuah kebahagiaan terbesar yang telah diraih!
Mencari kesempatan untuk mendapatkan rahmat Allah, mencari ketenangan hati, mendapatkan naungan malaikat, berharap istighfar dari burung di udara, makhluq di daratan, ikan di dalam air, dan menjadi salah satu yang sedang berjuang fii sabiilillaah
Mempersiapkan bekal untuk menjadi pewaris para Nabi

Bagaimana mengatur waktu?

Apapun jadwal yang kita lakukan selain pendidikan formal, bagi kita jadwal-jadwal itu adalah jadwal yang bebas untuk menentukan dan memilihnya. Oleh karena itu kita lebih memiliki keleluasaan dalam menentukan jadwal yang kita lakukan. Bentrokan jadwal bisa saja terjadi, tapi kita bebas untuk menentukan satu diantara sekian program yang mungkin dilakukan. Dengan keleluasaan kita dan berpikir yeng cerdas, kita akan mampu menentukan kegiatan kita secara proporsional dan mampu menentukan skala prioritasnya.

Apa keunggulan aktif di talaqqy?
Bertemu dengan para ulama yang rabbani dan mendapatkan kesempatan menghadiririyaadhul jannah (taman-taman surga)
Menguasai bahasa arab lebih baik dan mengetahui maksud istilah-istilah yang biasa digunakan oleh para ulama zaman dahulu dan sekarang, sehingganya tidak salah dalam memahami ilmu syariat.
Terbangunnya sebuah malakah ilmiah (intellectual quotient) yang baik
Memperpendek waktu dalam belajar.

suapan semangat buat NU
Ahlus Sunnah Wal Jama'ah
ta'wil imam bukhari membungkam wahabi junior
Hadits Penjelasan Khawarij
ciri ciri kaum wahabi
sebaian pengurus NUpun terjangkit virus wahabi
hukum shalat rebo wekasan
Wahabiyah Mengkafirkan Umat Islam Tanpa Alasan Yang Benar
Wahabi Tak Berkutik
Mengenai Puasa Rajab
Wahhabi
Wahabi
Debat Aswaja vs Wahabi di Universitas Melbourne
Siapa Wahabi
Hukum Berdo’a dengan Tawassul
Orang Yang Bisa Memberi Syafa’at
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (6)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (5)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (4)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (3)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (2)
Islam Garis Keras, Imperialisme dan Wahabi (1)
tidak semua perkara yang baru itu bid'ah
Ciri Ciri Wahabi
Ulama Ahlus sunnah wal jama'ah Menentang Aqidah Tasjim Tasybih Ibnu Taimiyah
read more

suapan semangat buat NU

banyak cara yang dilakukan kaum wahabi untuk bisa menyebarkan faham wahabi yang sesat dan sangat berbahaya.
sebelumnya saya sudah memosting artikel dengan berjudul sebaian pengurus NUpun terjangkit virus wahabi disini juga menjelaskan begitu gencarnya kaum wahabi berusaha menyebarkan faham sesatnya.
untuk indonesia sudah jelas kekuatan yang paling besar benteng ahlus sunnah wal jama'ah adalah NU
tak cukup para kaum wahabi menyusup masuk kedalam NU,wahabi juga terus berusaha memasukkan faham wahabi dalam ormas terbesar ahlus sunnah wal jama'ah ini,namun wahabi juga tak henti hentinya juga menfitnah orang orang NU termasuk membuat gosip bahwa ketua NU itu syi'ah dan lain sebagainya.
NU memang lamban dalam memerangi faham sesat wahabi tapi NU tetap menjadi penghalang terkuat wahabi,maka dari itu saya menyarankan kepada semua warga NU wabil khusus pengurus NU untuk lebih semangat dan lebih lincah lagi memerangi faham sesat wahabi yang sangat berbahaya bagi islam dan umat muslimin ahlus sunnah wal jama'ah.

read more

Ahlus Sunnah Wal Jama'ah

definisi ahlus sunnah wal jama'ah
Setelah menelaah dari berbagai referensi dan rujukan yang secara spesifik menjelaskan pengertian Ahlussunnah wa Al Jamaah, bisa difahami bahwa definisi Ahlussunnah wa Al jamaah ada dua bagian yaitu: definisi secara umum dan definisi secara khusus .
* Definisi Aswaja Secara umum adalah : satu kelompok atau golongan yang senantiasa komitmen mengikuti sunnah Nabi SAW. Dan Thoriqoh para shabatnya dalam hal aqidah, amaliyah fisik ( fiqih) dan hakikat ( Tasawwuf dan Ahlaq ) .
* Sedangkan definisi Aswaja secara khusus adalah : Golongan yang mempunyai I’tikad / keyakinan yang searah dengan keyakinan jamaah Asya’iroh dan Maturidiyah.

Pada hakikatnya definisi Aswaja yang secara khusus bukan lain adalah merupakan juz dari definisi yang secara umum, karena pengertian Asya’iroh dan Ahlussunnah adalah golongan yang komitmen berpegang teguh pada ajaran Rasul dan para sahabat dalam hal aqidah. namun penamaan golongan Asya’iroh dengan nama Ahli sunnah Wa Al Jamaah hanyalah skedar memberikan nama juz dengan menggunakan namanya kulli.
Syaih Al Baghdadi dalam kitabnya Al Farqu bainal Firoq mengatakan : pada zaman sekarang kita tidak menemukan satu golongan yang komitmen terhadap ajaran Nabi dan sahabat kecuali golongan Ahlussunnah wal jamaah. Bukan dari golongan Rafidah, khowarij, jahmiyah, najariyah, musbihah,ghulat,khululiyah, Wahabiyah dan yang lainnya. Beliau juga meyebutkan; bahwa elemen Alussunnah waljamaah terdiri dari para Imam ahli fiqih, Ulama’ Hadits, Tafsir, para zuhud sufiyah, ulama’ lughat dan ulama’-ulama’ lain yang berpegang teguh paa aqidah Ahli sunnah wal jamaah.
secara ringkas bisa disimpulkan bahwa Ahlu sunnah wal jamaah adalah semua orang yang berjalan dan selalu menetapkan ajaran Rasulullah SAW dan para sahabat sebagai pijakan hukum baik dalam masalah aqidah, syari’ah dan tasawwuf.
II. Pengertian Sunnah dan ajaran-ajarannya
Kalimat Sunnah secara etimologi adalah Thoriqoh ( jalan ) meskipun tidak mendapatkan ridlo. Sedangan pengertian Sunnah secara terminlogi yaitu nama suatu jalan yang mendapakan ridlo yang telah ditempuh oleh Rasulullah SAW, para khulafa’ al Rosyidin dan Salaf Al Sholihin. Seperti yang telah disabdakan oleh Nabi :
عَلَيكُمْ بِسُنَّتيِ وَسُنَّةِ الخُلَفَاءِ الرَّاشِدِينَ مِنْ بَعْدِي
Ikutilah tindakanku dan tindakan para khlafaurrosyidin setelah wafatku.
Sedangkan pengertian kalimat Jamaah adalah golongan dari orang-orang yang mempunyai keagungan dalam Islam dari kalangan para Sahabat, Tabi’in dan Atba’ Attabi’in dan segenap ulama’ salaf As solihin.
Setiap ajaran yang berdasarkan pada Usul Al syari’ah dan Fur’nya dan pernah dikerjakan oleh para nabi dan Sahabat sudah barang tentu merupakan ajaran yang sesuai dengan aqidah ahli sunnah wa aal jamaah seperti : Shalat Tarawih, witir, baca shalawat, ziarah kubur, mendo’akan orang yang sudah mati dll.
III. Definisi Bid’ah
Bid’ah dalam ma’na terminologi ( Syara’) menurut syaih Zaruq dalam kitabnya Iddah Al Marid yaitu semua perkara baru dalam agama yang menyerupai salah satu dari bentuk ajaran agama namun sebenarnya bukan termasuk dari bagian agama, baik dilihat dari sisi bentuknya maupun dari sisi hakikatnya. Dan pekara tersebut berkesan seolah-olah bagian dari jaran Islam seperti : membaca ayat-ayat Al-Qur’an dan Shalat dengan diiringi alat-alat musik yang diharamkan, keyakinan kaum mu’tazilah, Qodariyah, Syi’ah, termasuk pula paham-paham liberal yang marak akhir-akhir ini. Karena berdasarkan pada Ayat Al-Qur’an :
" وَمَا كَانَ صَلاَتُهُمْ عِنْدَ البَيْتِ الاَّ مُكاَءً وَتَصْدِيَةً " الانفال 35
Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, tidak lain hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu. QS: Al Anfal 35
Dan Hadits Nabi yang berbunyi:
عن أم المؤمنين أم عبد الله عائشة رضي الله عنها قالت : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم :" مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ".
Dari A’isyah RA. Rasulullah bersabda : barang siapa menciptakan hal baru dalam urusanku yang bukan termasuk dari golongan urusanku maka akan tertolak.
HR. Bukhari dan Muslim

Kalimat أحدث dalam Hadits diatas mengandung pengertian menciptakan dan membuat-buat suatu perkara yang didasari dari hawa nafsu. Sedangkan kalimat أمرنا mengandung suatu pengertian agama dan Syari’at yang telah di Ridlohi oleh Allah SWT.
Rasulullah juga bersabda dalam sebuah Hadits :
وروى مسلم في صحيحه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يقول في خُطبَتِهِ : " خَيرُ الحَدِيثِ كِتَابُ اللهِ, وَخَيرُ الهَدىِ هُدَى مُحَمَّدٍ صلى الله عليه وسلم, وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلُّ مُحْدَثةٍ بِدعَةٌ, وَكُلُّ بِدعَةٍ ضَلَالَةٌ" ورواه البيهقي وفيه زيادة " وكل ضلالة في النار"
Rosululloh bersabda: “ paling bagusnya Hadits adalah Kitabnya Allah, dan paling bagusnya petunjuk adalah petunjuk Rasulullah SAW, dan paling jeleknya perkara adalah semua perkara yang baru, dan setiap perkara yang baru adalah bid’ah, dan semua bid’ah itu sesat”. HR. Muslim dan juga diriwayatkan oleh Imam Baihaqi dengan tambahan kalimat “ setiap perkara sesat menempat dineraka” .

Dari adanya dua Hadits diatas para ulama’ menjelaskan bahwa secara prinsip, bid’ah adalah berubahnya Suatu hukum yang disebabkan karena meyakini suatu perkara yang bukan merupakan bagian dari agama sebagai salah satu bagian dari agama, bukan berarti setiap perkara baru lantas dikategorikan bid’ah, karena banyak hal baru yang sesuai dengan Usul Al Syar’ah dan tidak dikategorikan bid’ah, atau hal-hal baru yang sesuai dengan Furu’ Al Syari’ah yang masih mungkin di tempuh dengan jalan Analogi atau qiyas sehingga tidak termasuk kategori Bid’ah . berarti tidak semua ritual yang baru serta-merta dikategorikan sebagai perbuatan bid’ah seperti ritual tahlil tujuh hari,40 hari dan seratus hari dari kematian mayat, ziarah kubur, tawassul, mendoakan orang mati dll.
Imam Muhmmad Waliyuddin As Syabsiri dalam Syarah Arba’n Nawawi mengupas pengertian Hadits Nabi yang berbunyai :
مَنْ أَحدَثَ حَدَثًا اَوْ آوَى مُحدثًا فَعَليهِ لَعْنَةُ اللهِ
Barang siapa menciptakan perkara baru atau melindungi pencipta perkara baru mak dia berhak mendapatkan laknat Allah.
Hadits tersebut diatas memasukkan berbagai bentuk bentuk bid’ah seper Aqad fasid, memberi hukum tanpa Ilmu, penyelewengan dan semua hal yang tidak sesuai dengan syari’at. Namun apabila perkara baru itu masih sesuai dengan qonun syari’at maka tidak termasuk kategori bid’ah seperti menulis mushaf, meluruskan madzhab, menulis ilmu nahwu ,Khisab dll.
Syaih Izzuddin ibni Abdis Salam menggolongkan perkara baru ( Bid’ah ) menjadi lima hukum yaitu :
1. Bid’ah wajib seperti : mempelajari ilmu nawu, dan lafad-lafad yang ghorib dalam Al-Qur’an dn Hadits dan semua disiplin ilmu yang menjadi perantara untuk memahami syari’at.
2. Bid’ah Haram seperti : Faham Madzhab Qodariah, Jabariah dan Mujassimah.
3. Bid’ah Sunnah Seperti : Mendirikan Pondok, Madrasah dan semua perbuatan baik yang tidak pernah ditemukan pada masa dahulu.
4. Bid’ah Makruh Seperti : Menghias MAsjid dan Al-Qur’an.
5. Bid’ah Mubah seperti : Mushofahah (Jabat tangan) setelah Shalat Subuh dan Ashar dll.
IV. Kriteria penggolongan Bid’ah
Dalam menggolongkan perkara baru yang menimbulkan konsekwensi hukum yang berbeda-beda, Ulama’ telah membuat tiga kriteria dalam persoalan ini .
1. Jika perbuatan itu mempunyai dasar yang kuat berupa dalil-dalil syar’i, baik parsial ( juz’i ) atau umum, maka bukan tergolong bid’ah, dan jika tidak ada dalil yang dibuat sandaran, maka itulah bid’ah yang dilarang.
2. Memperhatikan apa yang menjadi ajaran ulama’ salaf ( Ulama’ pada abad I,II dan III H , jika sudah diajarkan oleh mereka, atau memiliki landasan yang kuat dari ajaran kaidah yang mereka buat, maka perbuatan itu bukan tergolong Bid’ah.
3. Dengan jalan Qiyas. Yakni mengukur perbuatan tersebut dengan beberapa amaliah yang telah ada hukumnya dari Nash Al-Qur’an dan Hadits. Apabila identik dengan perbuatan haram, maka perbuatan baru itu tergolong Bid’ah yang diharamkan. Apabila memiliki kemiripan dengan yang wajib, maka tergolong perbuatan baru yang wajib. Dan begitu seterusnya.
V. Hal-hal baru yang tidak tergolong Bid’ah
Dari pengertian Bid’ah diatas, memberikan suatu natijah atau kesimpulan bahwa ada sebagian amal Bid’ah yang sesuai dengan syari’at dan justru ada yang hukumnya sunnat dan fardlu kifayah. Oleh sebab itu Imam Syafi’i berkata :
" ما أَحْدَثَ وَخَالَفَ كِتَابًا اَو سُنَّةً او إِجمَاعًا او أثرًا فهو البِدْعَةُ الضَّالَّةُ, وَمَا أحْدَثَ مِنَ الخَيرِ وَلَمْ يُخَالِفْ شَيئًا من ذلك فَهُوَ البِدْعَةُ المَحْمُودَةُ "
“ Perkara baru yang tidak sesuai dengan Kitab Al-Qur’an, Sunnah, Ijma’ dan Atsar sahabat termasuk bid’ah yang sesat, dan perkara baru yang bagus dan tidak bertentangan dengan pedoman-pedoman tersebut maka termasuk Bid’ah yang terpuji “
1. Ziarah kubur.
Tidak diragukan sama sekali, bahwa hukum berziarah ke makam kerabat atau auliya’ adalah sunnah, dan hal ini telah disepakati oleh semua ulama’. Terdapat banyak Hadits yang menjelaskan kesunnahan ziarah kubur, diantaranya adalah :
عن بريدة قال رسول الله صلى الله عليه وسلم " قَدْ كُنْتُ نَهَيتُكُمْ عَنْ زِيَارَةِ القُبُورِ فَقَدْ أُذِنَ لِمُحَمدٍ فيِ زِيَارةِ قَبرِ أُمِّهِ فَزُورُهَا فإنَّهَا تُذَكِّرُ الآخرةَ. رواه الترمذي
“ dari Buraidah. Ia berkata: Rasulullah SAW bersabda “ saya pernah melarang kamu berziarah kubur, tetapi sekarang Muhammad telah diberi izin untuk berziarah kemakam ibunya. Maka sekarang berziarahlah ! karena perbuatan itu dapat mengingatkan kamu pada akhirat. HR. Al Thirmidzi
Ziarah kubur juga sunnah mu'akkad dilakukan di makam Rasulullah SAW dan juga makam para nabi yang lain, bahkan ada sebagian ulama' yang mewajibkan ziarah kubur kemakam Rasulullah SAW bagi orang yang mendatangi kota madinah. Namun sebaiknya ketika seseorang hendak melakukan ziarah ke makam Rosul hendaklah niat ziarah ke masjid Nabawi dan setelah itu baru melaksanakan ziarah ke makam Rosul dengan cara mengucapakan kalimat " السَّلاَمُ عَلَيكَ يَا رَسُولَ الله " dengan sura pelan dan penuh tata karma. Tersebut dalam sebuah Hadits:
مَنْ زَارَنِي بَعْدَ مَمَاتِي فَكَأَنَّمَا زَارَنِي فِي حَيَاتِي } رَوَاهُ الدَّارَقُطْنِيُّ ، وَابْنُ مَاجَهْ ،}
Barang siapa berziarah padaku setelah wafatku, maka seakan akan dia berziarah padaku pada masa hidupku
مَنْ زَارَ قَبْرِي وَجَبَتْ لهُ شَفَاعَتِي عن ابن عمر رضي الله عنه أن النبي صلى الله عليه وسلم قال :"Dari Ibnu Umar RA. Sesungguhnya Rasulullah bersabda : barang siapa berziarah kemakamku, maka pasti akan mendapatkan Syafa'at ( pertolongan ) ku" HR. Al Thobroni
2.Tawassul.
Kalimat Tawassul secara bahasa adalah upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Wasilah artinya adalah sesuatu yang dijadikan Allah SWT. Sebagai perantara untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Dan pintu menuju kebutuhan yang diinginkan. Allah SWT berfirman :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan.
QS: Al Maidah : 35
Dengan demikian, tawassul tidak lebih dari sekedar upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT, sedangkan wasilah adalah sebagai media dalam usaha tersebut. Tujuan utamanya tidak lain adalah mendekatkan diri kepada Allah SWT, tidak ada sedikitpun keyakinan menyekutukan Allah SWT.( Syirik ).

Kebolehan Tawassul juga telah disebutkan oleh Nabi dalam Haditsnya :
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ," تَوَسَّلُوا بِي وَبِأَهْلِ بَيتيِ الىَ اللهِ فإنَّهُ لَا يُرَدُّ مُتَوَسِّلٌ بِنَا"
" Rasulullah SAW bersabda : Bertawassullah kalian dengan aku dan dengan para keluargaku, sesungguhnya orang yang bertawassul dengan aku tidak akan ditolak"( HR.Ibnu Hibban )
3. Tabarruk ( Mencari Berkah )
Secara Etimologi kata berkah berarti tambah, berkembang. Selanjutnya kata barokah digunakan dalam pengertian bertambahnya kebaikan dan kenuliyaan. Jadi Barokah adalah rahasia dan pemberian Allah SWT yang dengannya akan bertambah amal- amal kebaikan., mengabulkan keinginan, menolak kejahatan dan membuka pintu menuju kebaikan dengan anugrah Allah SWT. Dari pengertian ini barokah adalah bagian dari rahmat dan anugerah Allah SWT. Allah SWT berfirman :
وَجَعَلَنيِ مُبَارَكًا أَيْنَمَا كُنْتَ. مريم 31
" Dan dia menjadikan aku seorang yang diberkati dimana saja aku berada " QS : maryam 31
"رَحَمْةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ عَلَيكُم أَهلَ البَيتِ "هود 73
" Rahmat Allah dan keberkatan-Nya, dicurahkan atas kamu, hai ahlul bait !
Para ulama' telah banyak membicarakan hukum mengambil barokah, dan berkesimpulan bahwa mengambil barokah dari orang , tempat atau benda hukumnya adalah boleh dengan syarat tidak dilakukan dengan cara-cara yang menyimpang syari'at Allah SWT.
Berikut adalah dalil-dalil kebolehan mengambil berkah :
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آَيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آَلُ مُوسَى وَآَلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآَيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ. البقرة 248
Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.QS: Al-Baqarah 248
عن ابن جدعان: قال ثابت لأنس رضي الله عنه : أَمَسَسْتَ النبيَ صلى الله عليه وسلم قال نَعَمْ فَقَبَّلَهَا . رواه البخاري
" Dari Ibnu Jad'an, berkata Tsabit kepada Anas ra : Apakah tanganmu pernah menyentuh Nabi SAW ? Anas menjawab : ya, maka Tsabit menciumnya ". HR. Bukhori
Diriwayatkan oleh Al Khotib dari Ali dari Maimun, berkata : aku mendengar Imam Syafi'I berkata : " sesungguhnya aku mengambil barokah dari Abu Khanifah dan aku mendatangi makamnya setiap hari, maka jika aku mempunyai hajat, aku shalat dua rakaat dan mendatangi makam Abu Hanifah lalu berdo'a meminta kepada Allah SWT. Tidak lama kemudian hajatku terpenuhi".
Kesimpulannya, mengambil barokah dari orang-orang yang shaleh adalah perbuatan yang terpuji. Apa yang dilakukan oleh para sahabat Nabi serta pengukuhan dari Rasulullah SAW cukup untuk dijadikan sebagai dalil.

4. Selamatan & Berdo'a untuk orang mati
Ritual mendoakan orang mati sudah biasa dilakukan bahkan sudah menjadi adat orang jawa setiap kali ada salah satu keluarga yang meninggal mereka mengadakan selamatan dihari ke-7 atau ke-40 dari kematian keluarganya dengan mengundang tetangga setempat dan dimintai bantuan untuk membaca surat Yasin, Tahlil dan berdo'a untuk mayat.
Hal tersebut diatas diperbolehkan menurut Syari'at, bahkan bagian dari amal ibadah yang pahalanya bisa sampai kepada yang meninggal. Bukankah bacaan Al-Qur'an, Tahlil dan bersedekah, menyajikan suguhan untuk para tamu adalah bagian dari amal Ibadah. Dalam sebuah Hadits dinyatakan :
عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه, أَنَّ النَبِيَّ صلى عليه وسلم سُئِلَ فقال السَائِلُ يا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّا نَتَصَدَّقُ عَنْ مَوتَانَا وَنَحُجُّ عَنهُمْ وَنَدْعُو لَهُمْ هَلْ يَصِلُ ذَلِكَ إِلَيْهِمْ ؟ قَالَ : نَعَمْ إنَّهُ لَيَصِلُ إِلَيْهِمْ وَإِنَّهُمْ لَيَفْرَحُونَ بِهِ كَمَا يَفْرَحُ أَحَدُكُمْ بالطَّبْقِ إذاَ أُهْدِيَ إِلَيْهِمْ. رواه ابو حفص العكبري
Dari Anas ra. Sesungguhnya Rasulullah SAW ditanya seseorang: " wahai Rasulullah SAW, kami bersedekah dan berhaji yang pahalanya kami peruntukkan orang-orang kami yang telah meninggal dunia dan kami berdoa untuk merek, apakah pahalanya sampai pada mereka ? Rasulullah SAW menjawab : Iya, pahalanya betul-betul sampai kepada mereka dan mereka sangat merasa gembira sebagaimana kalian gembira apabila menerima hadiah. HR. Abu Khafs Al Akbari.
VI. Sekilas Pembaharuan Agama
Ketika keintelektualan lebih mengedepankan nafsu serta semangat yang menggebu-gebu dengan dalih memurnikan agama tanpa disertai dengan pemahaman agama secara benar, maka yang terjadi justru pembaharuan- pembaharuan yang menyimpang dari ajaran yang telah dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. pada pembahasan ini akan mengetengahkan pembaharu-pembaharu ( Mujaddid) Islam yang telah melakukan banyak penyimpangan dari ajaran Islam yang murni.
1. Faham Ibnu Taimiyah
Di akhir masa 600 H, muncullah seorang laki-laki yang jenius yang telah banyak menguasai berbagai jenis disiplin ilmu, dialah Taqiyuddin ahmad bin Abdul Hakim yang dikenal dengan nama Ibnu Taimiyah. Ia dilahirkan di desa Heran, sebuah desa kecil di Palestina. Ia hidup sezaman dengan Imam Nawawi salah satu ulama; terbesar madzhab Syafi'i.
Ia merupakan sosok pribadi yang memiliki karakter pemberani, yang selalu mencurahkan segala sesuatu untuk madzhabnya, dengan keberanian yang ia miliki, ia telah menemukan hal baru yang sangat tabu dan jauh dari kebenaran, karena yang menjadi dasar pendiriannya ialah mengartikan ayat-ayat dan hadits-hadits nabi Muhammad yang berkaitan dengan sifat-sifat tuhan menurut arti lafadznya yang dlohir, yakni hanya secara harfiyah saja, oleh sebab itu menurut Ibnu Taimiyah " Tuhan itu memiliki muka, tangan, rusuk dan mata, duduk bersila, dating dan pergi, tuhan adalah cahaya langit dan bumi karena katanya semua itu disebut dalam Al Qur'an".
Kontroversi yang ia ucapkan tidak hanya terbatas pada permasalahan ilmu kalam, melainkan juga menyinggung beberapa permasalahan ilmu fiqih :
* Bepergian dengan tujuan ziarah ke makam Nabi Muhammad SAW setelah beliau wafat hukumnya maksiat
* Talak tiga tidak terjadi ketika diucapkan dengan sekaligus ( hanya jatuh satu )
* Seorang yang bersumpah akan mencerai istrinya , lalu ia melanggar sumpahnya, maka perceraian itu tidak terjadi.
2. Faham Wahabi
Pada pertengahan kurun ke 12 muncul seorang yang bernama Muhammad bin Abdul Wahab yang berdomisili di Najd yang termasuk kawasan Hijaz, ia dilahirkan pada tahun 1111 H, dan meninggal pada tahun 1207 H. pada mulanya ia memperdalam ilmu agama dari ulama'-ulama; ahli sunnah di makkah dan madinah termasuk diantaranya adalah syaih Muhammad Sulaiman Al Kurdi dan syaih Muhammad Hayyan Assindi, diantara guru yang pernah mengajarkan ilmu kepadanya, jauh sebelum ia membuat pergerakan telah berfirasat kalau disuatu hari nanti ia tergolong orang yang sesat dan menyesatkan, itupun akhirnya menjadi kenyataan, firasat ini juga dirasakan oleh ayah dan saudaranya ( Syeh Sulaiman ).
Muhammad bin Abdul Wahab pada masa mudanya banyak membaca buku-buku karangan Ibnu Taimiyah dan pemuka-pemuka lain yang sesat, sehingga ahirnya membangun faham Wahabiyah yang terpusat ditanah Hijaz sebagai penerus tongkat estafet dari ajaran Ibnu Taimiyah, bahkan lebih extrim dan radikal daripada Ibnu Taimiyah sendiri, sebab ia sangat mudah memberikan label kafir kepada setiap orang yang tidak mau mengikuti fahamnya. Langkah yang ia tempuh dalam mengembangkan fahamnya ialah dengan memberikan tambahan- tambahan baru dari ajaran Ibnu Taimiyah yang semula dianutnya.
* Poin-poin dasar faham wahabiyah
1. Allah adalah suatu jisim yang memiliki wajah, tangan dan menempat sebagaimana mahluq juga sesekali naik dan turun ke bumi.
2. Mengedapankan dalil Naqli daripada dalil aqli serta tidak memberikan ruang sedikitpun pada akal dalam hal-hal yang berkenaan dengan agama ( keyakinan)
3. Mengingkari Ijma' ( Konsensus )
4. Menolak Qiyas ( Analogi )
5. Tidak memperbolehkan Taqlid kepada Ulama' Mujtahidin dan mengkufurkan kepada siapapun yang taqlid kepada mereka
6. Mengkufurkan kepada ummat Islam yang tidak sefaham dengan ajarannya
7. Melarang keras bertawassul kepada Allah melalui perantara para Naabi, Auliya' dan orang- orang sholeh
8. Memvonis kafir kepada orang yang bersumpah dengan menyebut nama selain Allah
9. menghukumi kafir kepada siapa saja yang bernadzar untuk selain Allah.
10. Menghukumi kafir kepada secara muthlak kepada siapapun yang menyembelih disisi makam para nabi atau orang-orang Sholeh.

Perkembangan ajaran Wahabiyah yang disinyalir melalui cendekiawan-cendekiawan pada akhirnya juga sampai di tanah air kita Indonesia, hal ini diawali dengan maraknya pergerakan-pergerakan diawal abad ke-20 yang bertopeng keagamaan.
Diawali dengan terbentuknya organisasi Wathoniyah pada tahun 1908 M. kemudian disusul organisasi Serikat Islam pada tahun yang sama, hanya saja berkecimpung dalam masalah perdagangan. Dan puncaknya dibentuklah sebuah ormas pada tanggal 18 Desember 1912 oleh seorang cendekiawan yang berfaham Wahabi, kendati organisasi ini lebih berorientasi pada masalah social keagamaan, namun kelahirannya dibumi pertiwi ini menyebabkan keretakan diantara Muslim Indonesia yang pada umumnya berhaluan faham Ahli Sunnah Wal jamaah,
Propaganda yang dilakukan oleh cendekiawan wahabi ialah dengan melakukan pendekatan pada masyarakat awam, setelah terpedaya kemudian mereka mengeluarkan trik-trik baru yang justru lebih berbahaya dampaknya, yaitu dengan menanamkan benih-benih permusuhan dan rasa sentiment pada para ulama' salaf dan golongan yang tidak sefaham dengan mereka.
3. Faham Ahmadiyah
Pendiri golongan ini bernama Mirza Ghulam Ahmad, ia dilahirkan didesa Qodliyan Punjab Pakistan pada tahun 1836 M. dia tidak hanya mengaku sebagai imam Mahdi yang ditunggu, Mujaddid dan juru selamat,tetapi stelah ia berumur 54 tahun ia memproklamirkan diri sebagai nabi yang paling akhir sesudah nabi Muhammad SAW dan benar-benar mendapatkan wahyu dari Allah SWT.
 Poin-Poin faham Ahmadiyah yang menyimpang dari Syari'at
1. Mirza Ghulam Ahmad adalah nabi terahir
2. Mirza Ghulam Ahmad adalah Isa yang dijanjikan.
3. Syari'at Islam belum sempurna, tetapi disempurnakan oleh Syari'at Mirza Ghulam Ahmad.
4. Jaringan Islam Liberal
Belakangan ini gegap gempita pemikiran dan aliran yang muncul dikalangan Islam di Indonesia begitu deras, sehingga berimplikasi pada sebuah kebebasan yang seakan tak terbatas. Disana-sini bermunculan aliran dan sekte-sekte, termasuk salah satunya adalah Jaringan Islam Liberal ( JIL ).
Sebagai komunitas yang berslogan " Menuju Islam yang ramah, toleran dan membebaskan " JIL hadir layaknya sebuah alternatif yang begitu intelektual dan cerdas. Mereka begitu Ofensif sehingga berhasil menciptakan jaringan dengan tidak kurang dari 51 koran dan membuat radio 68 Hyang beberapa acaranya dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68 H diseluruh Indonesia. Maka tak heran apabila pemikiran-pemikirannya begitu kuat mempengaruhi ummat.
Madzhab liberal merupakan aliran pemikiran Islam Indonesia yang menekankan pada kebebasan berfikir dan tidak lagi terikat dengan madzhab-madzhab pemikiran keagamaan ( terutama Islam ) pada umumnya, melampaui batas-batas cara berpikir sectarian organisasi dan politik. Bagi Madzhab liberal, yang paling penting adalah perlunya tradisi kritis dan perlunya Dekonstruksi atas pemahaman lama yang telah berkembang ratusan tahun. Islam seharusnya difahami secara modern dan rasional, karena Islam merupakan agama yang rasional dan mengutamakan rasionalitas yang dalam bentuk konkritnya berupa Ijtihad. Islam harus dipahami secara kontekstual, progressif dan emansipatoris. Dengan pemahaman seperti ini maka Islam akan mengalami kemajuan, bukannya kemunduran.
VII. Metode Pembentengan Aqidah Ahlu Sunnah Wal Jamaah
Dalam membentengi aqidah Ahlus Sunnah wal jamaah agar tetap eksis dan menjadi panutan masyarakat, tentunya perlu diterapkan metode yang jitu dan tidak terkesan radikal. Upaya penyampaian tentang pentingnya mempertahankan aqidah ahli sunnah wal jamaah bisa ditempuh dengan berbagai macam cara, seperti memberikan pemahaman yang mendalam tentang hakikat aswaja dan bahayanya mengikuti faham- faham sesat yang banyak bermunculan melalui pertemuan- pertemuan khusus atau melalui majelis Dzikir, ketika Masyarakat berkumpul di Masjid untuk melaksanakan Shalat atau pengajian dan berbagai moment keagamaan lainnya.
Islam mengajarkan pada penganutnya untuk berda'wah dan mengajak sesama menuju kejalan yang benar dengan cara-cara yang terpuji, hal itu telah diuraikan dalam Al-Qur'an dan Hadits. Seperti halnya ajaran tentang mengajak masuk Islam dengan hikmah atau dalil dan hujjah juga dengan mau'idlah yang ada dalam ayat Al-Qur'an, dan hal itu tentu harus dengan menggunakan adab dan tata karma yang baik. Karena agama Islam identik dengan nasihat yang halus dan jauh dari kekerasan.
Banyak media yang bisa kita gunakan untuk menyampaikan nilai-nilai Aswaja kepada masyarakat luas yang selama ini masih minim dipraktekkan sebab kurangnya rasa peduli dari para nahdliyin.
 Pengoptimalan Fungsi Masjid
Sebenarnya fungsi asal dibangunnya masjid selain untuk shalat seperti yang telah dijelaskan oleh Imam Samarqondi adalah sebagai tempat untuk Dzikir, Takbir, Tahlil, Menyiarkan Islam dan menjauhkan dari perbuatan syirik. Oleh sebab itu sudah saatnya para Ta'mir masjid dan pemuka agama mengaplikasikan fungsi- fungsi tersebut dengan mengadakan Khalaqah diwaktu-waktu tertentu untuk menyampaikan nilai-nilai faham Aswaja dengan tujuan menyelamatkan masyarakat dari pengaruh faham yang sesat dan menyesatkan.
Oleh karenanya pengoptimalan fungsi masjid dengan cara digunakan sebagai media penyampaian aqidah yang tegak sangat mutlaq diperlukan dizaman sekarang, mengingat bahayanya faham-faham baru yang berkedok Islam namun jauh melenceng dari nilai-nilai Islam secara sempurna.
Apabila upaya pengoptimalan tersebut telah kita lakukan, sedikit banyak masyarakat akan faham tentang Aswaja dan bahaya akiran-aliran sesat. Dan masjid yang kita miliki semakin tampak manfaat dan fungsi-fungsinya. Jangan sampai Masjid yang kita rawat dan kita tempati sehari-hari diambil alih oleh golongan- golongan yang tidak bertanggung jawab seperti yang telah diberitakan dalam sebuah situs NU Online yaitu :
Kehidupan beragama di Indonesia semakin tidak aman. Sekelompok orang yang mengatasnamakan Islam telah serampangan mengambil alih masjid-masjid milik warga (Nahdlatul Ulama) NU dengan alasan bid’ah dan beraliran sesat.
Allah SWT berfirman dalam Al Qur'an :
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ. النحل 125
Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk. "QS: An Nahl 125
فَقُولاَ لَهُ قَوْلاً لَّيّناً لَّعَلَّهُ يَتَذَكَّرُ أَوْ يَخْشَى طه : 44
maka berbicaralah kamu berdua ( Musa dan Harun ) kepadanya( Fir'aun ) dengan kata-kata yang lemah lembut, mudah-mudahan ia ingat atau takut." QS : Thaha 44
وَقُولُواْ لِلنَّاسِ حُسْنًا البقرة 83
serta ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia." QS : Al Baqarah 83
Ayat-ayat diatas menjelaskan pada Ummat Islam bahwa ajakan menuju jalan Allah yang oleh ulama' ditafsiri dengan Agama Islam harus dengan menggunakan Hikmah, dan hikmah yang dimaksud dalam ayat tersebut diatas oleh ulama ditafsiri dengan burhan (dalil) atau hujjah, Allah juga memerintahkan untuk mengajak dengan Mau'idlah atau peringatan yang bagus.
Dalam surat Thaha diatas Allah memerintahkan pada nabi Musa dan Harus AS. Untuk bertutur kata yang halus kepada Fir'aun, agar Fir'aun bisa sadar atau takut kepada Allah. Sampai selentur itu ajaran Allah untuk berda'wah, padahal kita ketahui bersama bagaimana kekejaman dan kerasnya fir'aun dalam menentang agama Allah SWT. sumber: sumber ilmu
http://mughits-sumberilmu.blogspot.com/2012/03/definisi-ahlus-sunnah-wal-jamaah.html
read more
Design by Faham Wahabi Visit Original Post Ahlus Sunnah Wal Jama'ah