Kisah Nyata:Bahayanya Faham Salafi/Wahabi,Kejamnya Wahabi,Busuknya Rayuan Wahabi,Bahayanya Doktrin Wahabi dan semacamnya sering saya dengar,namun sayangnya untuk menuliskan satu persatu rasanya agak susah.
karna kepengin banget memosting artikel yang mengisahkan kisah nyata bahayanya faham salafi/wahabi,saya mencoba mencari di internet dan alhamdulillah saya mendapati suatu kisah yang sangat menyentuh hati.
INILAH KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI dengan judul Kenapa Aku Meninggalkan Salafi
Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.
Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.
Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi, sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku menemukan teman-teman yang melaksanakan hadist yang dulu pernah kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan bagian dari sunnah Nabi.
Meskipun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern (celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk belajar mengalahkan rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku agak lama. Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya penampilanku yang tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu berlalu, aku semakin asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama, sang senior satu kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar Salafi.
Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong celana hingga di atas matakaki. Semua celana panjangku kukirim ke tukang jahit untuk “dirapikan” agar sama seperti celana-celana yang dipakai oleh anggota pengajian. Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak lagi celana lipatan. Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-teman Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang kuliah di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya aku tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?
Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa raut wajah mereka berubah ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata memang Salafi “mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas peran akal dalam memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah filsafat dikatakan dengan ucapan sinis. Berbagai istilah dilekatkan kepada filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.
Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah yang sedang kujalani saat ini adalah kuliah yang mempelajari ilmu yang dilarang dalam Islam? Suatu ketika kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi SAMA. Mempelajari filsafat itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3 aku mulai malas-malasan pergi ke kampus. Pagi hari dan siang hari aku hanya termanggu di asrama, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya aku telah salah memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum di Indonesia adalah hukum thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya, “Filsafat Haram dalam Islam”.
Akibat jarang mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan 2 aku berhasil meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di Salafi semakin intens. Beberapa kajian yang kuikuti telah melewati batas kota Jogja.
Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin lagi melanjutkan kuliah di filsafat. Kuberanikan diri bicara lewat telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah. Aku ingin masuk pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih mulia dari ilmu-ilmu lain. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan dari ustadz. Bapak marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Beberapa hari setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Tak henti Ibu menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa berat dengan “kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu itu.
Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak henti tangisan beliau ketika memintaku untuk memikirkan kerja keras Bapak menguliahkanku dengan biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak sanggup rasanya melihat Ibu bercucuran airmata. Hati kecil berontak, bimbang antara memilih “agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan ustadz-ustadz Salafi bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika melanggar perintah Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua?
Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku satu kamar yang mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh. Sibuk dengan kerja dan kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di Jogja demi kerja dan mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil, beliau kembali memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab melepas kepergian beliau dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan bilang sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku akan kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan selama ini. Berusaha keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam hati aku menguatkan tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau akhirnya aku membuat Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah dibilang membuang umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah dibilang sebagai pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku meskipun dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.
Titik balik itu berlangsung saat liburan semester 6, persis tiga tahun aku menjalani hidup sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk registrasi masuk kuliah semester 7. Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40 sks mata kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.
Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih senang dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari Ustadz, meskipun sesekali sentilan negatif terhadap filsafat tetap memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman Salafi semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi Salafi tapi kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui. Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan mengatakan filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku terheran-heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali. Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata kaki. Aku bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim sebagai salah satu pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan sesekali beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang paling benar sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia sudah lulus kuliah dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin menikmati perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah biasa. Tak ada lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan. Aku menjadi orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan. Filsafat telah membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan pola hitam-putih yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang lain dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kaum Sesat” yang didasarkan bingkai agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehilangan keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama sekali. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada orangtuaku. Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran untuk mengarahkannya kemana. Aku sudah tak peduli dengan omongan-omongan negatif tentang keadaanku sekarang. Terserah mereka mau bilang apa…
karna kepengin banget memosting artikel yang mengisahkan kisah nyata bahayanya faham salafi/wahabi,saya mencoba mencari di internet dan alhamdulillah saya mendapati suatu kisah yang sangat menyentuh hati.
INILAH KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI dengan judul Kenapa Aku Meninggalkan Salafi
Perjalanan spiritualku dalam mengenal Islam menemui babak baru ketika memulai studi di Jogjakarta. Bertemu dengan senior satu kamar di asrama mahasiswa Sumatera Barat yang memiliki penampilan aneh. Berjenggot tebal dan celana di atas mata kaki. Namanya anak kampung yang baru sekali merantau, aku hanya bisa banyak mendengar apa yang seniorku itu sampaikan. Tiap malam aku dibombardir dengan istilah-istilah baru yang belum kuketahui sebelumnya tapi memiliki indikasi negatif dalam agama.
Berjalannya waktu dan semakin intensnya pembicaraan kami, akhirnya aku mengenal sebuah aliran baru “Salafi”. Sebuah ajaran yang diklaim sebagai ajaran yang paling benar dan paling teguh memegang Al Qur’an dan As Sunnah. Sementara gerakan atau ajaran lain dianggap bid’ah dan tidak sesuai dengan Islam “yang sebenarnya”.
Meski tanpa didampingi oleh sang senior, aku melakukan pencarian lebih lanjut tentang “Salafi”. Lewat pamflet-pamflet pengajian yang disebar di kampus, akupun mulai mengunjungi masjid-masjid tempat berlangsungnya kajian yang bertitel “mengikuti sunnah Nabi” ini. Aku terpukau dengan kapabilitas ustadz-ustadznya yang hafal ayat-ayat Al Qur’an dan Hadist. Banyak hadist-hadist baru yang kudengar. Tampilan tawadhu’ para pendengar yang terdiri dari bapak-bapak dan pemuda-pemuda berjenggot-berjubah, serta wanita-wanita bercadar membuat kepincut untuk terus mengikuti pengajian-pengajian Salafi, karena sejak SMA aku sudah memilih memelihara jenggot sebagai sunnah Nabi, sampai-sampai aku berdebat keras dengan seorang guru berjilbab yang menyuruhku untuk memotong jenggot. Aku berpikir, inilah tempat aku menemukan teman-teman yang melaksanakan hadist yang dulu pernah kutemui bahwa memilihara jenggot merupakan bagian dari sunnah Nabi.
Meskipun masih menjadi orang “aneh” dengan penampilan modern (celana panjang dan kemeja), keinginanku untuk belajar mengalahkan rasa risih. Seringkali para jama’ah lain menatap diriku agak lama. Mungkin karena dirasa sebagai orang baru, gaya penampilanku yang tidak lazim dapat mereka maklumi. Minggu-minggu berlalu, aku semakin asyik dengan pengajian demi pengajian. Di Asrama, sang senior satu kamar semakin intens menceritakan kejelekan-kejelekan ajaran di luar Salafi.
Aku tak ingat lagi sejak kapan memotong celana hingga di atas matakaki. Semua celana panjangku kukirim ke tukang jahit untuk “dirapikan” agar sama seperti celana-celana yang dipakai oleh anggota pengajian. Jenggotku mulai memanjang dan celanaku tidak lagi celana lipatan. Mulailah beberapa peserta pengajian mendekatiku dan mengajakku ngobrol. Aku mulai merasa diterima sebagai bagian mereka. Aku merasa enjoy karena mulai mendapatkan teman-teman baru. Lambat laun hubunganku semakin intens dan mengenal lebih banyak lagi teman-teman Salafi. Sampai suatu kali perkenalan tentang kuliah, aku bilang kuliah di Filsafat UGM. Sontak saja raut teman bicaraku berubah. Awalnya aku tak mengerti, kenapa setiap memperkenalkan diri sebagai mahasiswa Filsafat mereka mencoba mengalihkan pembicaraan?
Akhirnya aku tahu sebab-musabab, kenapa raut wajah mereka berubah ketika kubilang kuliah di Filsafat. Ternyata memang Salafi “mengharamkan Filsafat”. Berkali-kali ketika membahas peran akal dalam memahami wahyu atau kajian-kajian mengenai firqoh-firqoh Islam, istilah filsafat dikatakan dengan ucapan sinis. Berbagai istilah dilekatkan kepada filsafat, “ilmu syetan”, “ilmu sesat”, “ilmu tak bermanfaat”.
Kegelisahan mulai menderaku. Apakah benar kuliah yang sedang kujalani saat ini adalah kuliah yang mempelajari ilmu yang dilarang dalam Islam? Suatu ketika kuberanikan diri bertanya empat mata kepada beberapa Ustadz. Jawaban dari Ustadz yang kudatangi SAMA. Mempelajari filsafat itu haram. Pertahananku jebol. Aku benar-benar binggung. Semester 3 aku mulai malas-malasan pergi ke kampus. Pagi hari dan siang hari aku hanya termanggu di asrama, berkata pada diri sendiri, “betapa bodohnya aku telah salah memilih jurusan”. Aku menghindar memilih jurusan hukum atas dasar asumsi “Islami”, hukum di Indonesia adalah hukum thagut (kafir, sesat). Dan pilihan jurusan filsafat kusandarkan kepada sebuah artikel dalam terjemahan Al Qur’an yang dikeluarkan oleh Departemen Agama. Tapi, di Jogja aku menemukan hal sebaliknya, “Filsafat Haram dalam Islam”.
Akibat jarang mengikuti perkuliahan, IP-ku jeblok. Padahal semester 1 dan 2 aku berhasil meraih IP di atas 3. Sementara, aktivitas pengajianku di Salafi semakin intens. Beberapa kajian yang kuikuti telah melewati batas kota Jogja.
Suatu ketika, aku berpikir tak mungkin lagi melanjutkan kuliah di filsafat. Kuberanikan diri bicara lewat telpon kepada Bapak untuk berhenti kuliah. Aku ingin masuk pondok pesantren, mempelajari ilmu agama yang lebih mulia dari ilmu-ilmu lain. Kusampaikan kepada Bapak dalil-dalil keharaman filsafat sebagaimana yang kudapatkan dari ustadz. Bapak marah besar kepadaku. Aku cuek, karena yakin apa yang sampaikan benar menurut “agama”. Aku bersitegang dengan Bapak. Beberapa hari setelah percekcokanku dengan Bapak, Ibu datang ke Jogja. Tak henti Ibu menangis. Memberitahukan bagaimana Bapak kecewa berat dengan “kegilaan-ku” meninggalkan kuliah di UGM. Ibu memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Jiwaku masih memberontak waktu itu.
Beberapa hari Ibu menginap di kamar. Tak henti tangisan beliau ketika memintaku untuk memikirkan kerja keras Bapak menguliahkanku dengan biaya yang besar di UGM. Akupun luluh. Tak sanggup rasanya melihat Ibu bercucuran airmata. Hati kecil berontak, bimbang antara memilih “agama” dan keinginan orang tua. Terlintas ucapan ustadz-ustadz Salafi bahwa hormat kepada manusia tidak perlu jika melanggar perintah Tuhan, hatta itu orangtua sendiri. Di sisi lain sanubariku berkata, bukankah agama melarang seorang anak durhaka kepada orang tua?
Aku menghadapi dilema ini sendirian. Seniorku satu kamar yang mengenalkanku dengan Salafi diam masa bodoh. Sibuk dengan kerja dan kuliahnya yang memang begitu padat. Menjelang kepulangan Ibu kembali ke kampung karena sudah tak bisa berlama-lama di Jogja demi kerja dan mengurusi adik-adikku yang masih kecil-kecil, beliau kembali memintaku untuk mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku tak bisa melawan Ibu dab melepas kepergian beliau dengan tangisan. Kukuatkan tekad dan bilang sama Ibu bahwa aku mengurungkan niat berhenti kuliah. Aku akan kembali masuk kuliah dan mengejar ketertinggalan selama ini. Berusaha keras meraih IP seperti 2 semester awal dulu. Dalam hati aku menguatkan tekad, “persetan dengan kata-kata Ustadz kalau akhirnya aku membuat Ibu menangis dan Bapak menjadi kecewa. Terserah dibilang membuang umur untuk mempelajari ilmu yang haram, terserah dibilang sebagai pengkhianat agama. Persetan dengan semua dalil dan argumen agamis yang mereka sampaikan. Aku mau menghormati orangtuaku meskipun dianggap sebagai “kedurhakaan” kepada Tuhan.
Titik balik itu berlangsung saat liburan semester 6, persis tiga tahun aku menjalani hidup sebagai mahasiswa di Jogja. Kudatangi kampus untuk registrasi masuk kuliah semester 7. Kuminta transkrip nilai. Tak sampai 40 sks mata kuliah yang telah kuambil. IPK-pun hancur di bawah 2,5. Hanya satu tekad kukobarkan, aku tak boleh mengecewakan Bapak dan Ibu lagi.
Aku mulai kuliah. Kajian Salafi masih tetap kuikuti. Aku masih senang dengan uraian hadist dan Al Qur’an dari Ustadz, meskipun sesekali sentilan negatif terhadap filsafat tetap memerahkan mukaku. Aku kemudian menjadi orang aneh. Pergaulanku dengan teman-teman Salafi semakin luas, karena aku adalah santri yang unik bagi mereka, menjadi Salafi tapi kuliah di filsafat.
Suatu hari di tahun awal 2006, aku memutuskan untuk masuk Muhammadiyah lewat Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah UGM. Aku mulai intens mengikuti kajian tafsir Ustadz Dr. Yunahar Ilyas, Lc di kantor pusat Muhammadiyah Yogyakarta. Ada hal lain yang kutemui. Ustadz Yunahar lulusan Saudi Arabia, sama dengan Ustadz-Ustadz kenamaan Salafi yang juga menempuh studi di negeri yang didirikan Keluarga Saud itu, yakni gaya ceramah Ustadz Yunahar yang lebih soft dan lebih mengedepankan analogi. Tidak pernah beliau menyerang filsafat, malahan mengatakan filsafat dibutuhkan untuk menghadang musuh-musuh Islam. Aku terheran-heran. Kok bisa beda ya? Kuperhatikan face ustadz Yuhanar, kumis menghiasi wajahnya. Jenggot hanya sedikit. Tak pernah kulihat Ustadz Yunahar memakai kopiah haji meskipun beliau sudah naik haji berkali-kali. Hanya kopiah hitam nasional yang menurut beberapa teman Salafi, tidak Islami. Kuperhatikan celana beliau, berjuntai melewati mata kaki. Aku bertanya, kenapa “Ustadz” satu ini berbeda dengan Ustadz-Ustadz Salafi-ku?
Keherananku semakin kentara ketika Ustadz Faturahman Kamal mengantikan beberapa kali kajian Ustadz Yunahar. Ustadz Faturahman adalah alumni Universitas Islam Madinah yang diklaim sebagai salah satu pusat keilmuan Salafi. Gaya ceramah beliau berbeda. Bahkan sesekali beliau membicarakan geliat dakwah kampus yang menguraikan ketidakwajaran halaqoh dakwah, yang secara eksplisit mengarah kepada Salafi.
Aku kembali bertanya-tanya, apakah klaim Salafi sebagai firqoh yang paling benar sebagaimana yang berbuih-buih disampaikan oleh para Ustadznya BENAR? Sementara itu, senior satu kamarku yang melepasku dalam kebimbangan sendirian, meninggalkan Jogja. Dia sudah lulus kuliah dan hendak pulang kampung untuk mencari pekerjaan demi mempersiapkan lamarannya kepada salah satu teman dari asrama putri.
Kuliahku berjalan lancar. IPK-ku semakin hari semakin naik. Aku semakin menikmati perkuliahan dan uraian-uraian filosofis yang disampaikan dosen. Kajian Salafi mulai jarang kuikuti, kecuali kajian Ustadz Ridwan Hamidi yang tak bisa kutinggalkan sama sekali. Aku teramat suka dengan Ustadz Ridwan, yang seringkali mendapat ejekan dari kelompok Salafi yang lain, karena ceramah beliau yang lembut dan sering membuat jiwaku tentram.
Singkat cerita, bulan Februari ini aku akan diwisuda. Menjadi lulusan terbaik fakultas Filsafat UGM untuk wisuda periode pertama di tahun 2010 dengan IPK 3,61. Penampilanku sudah biasa. Tak ada lagi celana jingkrang di atas mata kaki dan jenggot panjang yang awut-awutan. Aku menjadi orang biasa. Aku tetap normal tidak menjadi gila dengan filsafat yang kupelajari. Aku masih sholat, baca Al Qur’an dan mempercayai Tuhan. Filsafat telah membuka wawasan dan perspektifku lebih luas dalam memandang dunia. Tidak seperti saat di Salafi dengan pola hitam-putih yang dibangun. Hidup dikurung dan dihiasi kebencian kepada orang lain dengan sekat “Kafir”, “Ahlul Bid’ah” dan “Kaum Sesat” yang didasarkan bingkai agama.
Bulan ini, aku bisa mengobati airmata Ibu dan kekecewaan Bapak beberapa tahun lalu. Hari ini aku bahagia tanpa harus kehilangan keIslamanku. Malahan aku menemukan Islam yang damai lewat uraian Ustadz Yunahar Ilyas dan Ustadz Faturrahman Kamal.
Aku tak peduli dengan sindiran keputusanku keluar dari Salafi. Terserah dibilang orang yang futur, tersesar dari jalan dakwah, atau sebutan menyakitkan lainnya. Aku tak peduli sama sekali. Yang penting aku masih menyembah Tuhan, masih mendengarkan Al Qur’an dan Hadist, masih sholat, puasa, mendengarkan ceramah, dan bisa berbakti kepada orangtuaku. Aku punya jalan hidup sendiri dan punya kekuatan pikiran untuk mengarahkannya kemana. Aku sudah tak peduli dengan omongan-omongan negatif tentang keadaanku sekarang. Terserah mereka mau bilang apa…
NB: Kutuliskan cerita ini setelah membaca berita penerimaan mahasiswa baru Universitas Islam Madinah diadakan di Pesantren Gontor yang notabene bukan pesantren Salafi. Kenapa pemerintah Saudi lebih percaya kepada Gontor daripada Pesantren-Pesantren Salafi yang saat ini sudah berdiri di berbagai kota di Indonesia??? Entahlah…Sumber kisah nyata ini bisa anda klik di judul diatas.
Semoga postingan ini bermanfaat
Semoga postingan ini bermanfaat
Sejarah Dan Implikasi Ke Atas Masyarakat
Wahabi Anak Kandung Kristen Tapi Mendurhakainya
Wahabi atau Sunni yang Mirip dengan Kristen
MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI
Wahabi Dan Sunni Mungkinkah Bisa Bersatu
Orang Wahabi Jangan Baca Ini Agar Tidak SEWOT
KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI
Wahabi Anak Kandung Kristen Tapi Mendurhakainya
Wahabi atau Sunni yang Mirip dengan Kristen
MELIHAT WAHABI LEBIH JAUH LAGI
Wahabi Dan Sunni Mungkinkah Bisa Bersatu
Orang Wahabi Jangan Baca Ini Agar Tidak SEWOT
KISAH NYATA:BAHAYANYA FAHAM SALAFI/WAHABI